Selasa, 01 April 2014

Kisah Abu Dzar Al-Ghifari


Abu Dzar Al-Ghifari


Abu Dzar berasal dari suku Ghifar (dikenal sebagai penyamun pada masa sebelum datangnya Islam). Ia memeluk Islam dengan sukarela, ia salah satu sahabat yang terdahulu dalam memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi Muhammad langsung ke Mekkah untuk menyatakan keislamannya.
Setelah menyatakan keislamannya, ia berkeliling Mekkah untuk meneriakkan bahwa ia seorang Muslim, hingga ia dipukuli oleh suku Quraisy. Atas bantuan dari Abbas bin Abdul Muthalib, ia dibebaskan dari suku Quraisy, setalah suku Quraisy mengetahui bahwa orang yang dipukuli berasal dari suku Ghifar. Ia mengikuti hampir seluruh pertempuran-pertempuran selama Nabi Muhammad hidup.
Orang-orang yang masuk Islam melalui dia, adalah : Ali-al-Ghifari, Anis al-Ghifari, Ramlah al-Ghifariyah.
Dia dikenal sangat setia kepada Rasulullah. Kesetiaan itu misalnya dibuktikan sosok sederhana ini dalam satu perjalanan pasukan Muslim menuju medan Perang Tabuk melawan kekaisaran Bizantium. Karena keledainya lemah, ia rela berjalan kaki seraya memikul bawaannya. Saat itu sedang terjadi puncak musim panas yang sangat menyayat.
Dia keletihan dan roboh di hadapan Nabi SAW. Namun Rasulullah heran kantong airnya masih penuh. Setelah ditanya mengapa dia tidak minum airnya, tokoh yang juga kerap mengkritik penguasa semena-mena ini mengatakan, "Di perjalanan saya temukan mata air.
Saya minum air itu sedikit dan saya merasakan nikmat. Setelah itu, saya bersumpah tak akan minum air itu lagi sebelum Nabi SAW meminumnya." Dengan rasa haru, Rasulullah berujar, "Engkau datang sendirian, engkau hidup sendirian, dan engkau akan meninggal dalam kesendirian. Tapi serombongan orang dari Irak yang saleh kelak akan mengurus pemakamanmu." Abu Dzar Al Ghifary, sahabat setia Rasulullah itu, mengabdikan sepanjang hidupnya untuk Islam.

Sebelum Masuk Islam

Tidak diketahui pasti kapan Abizar lahir. Sejarah hanya mencatat, ia lahir dan tinggal dekat jalur kafilah Mekkah, Syria. Riwayat hitam masa lalu Abizar tak lepas dari keberadaan keluarganya.
Abizar yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga perampok besar Al Ghiffar saat itu, menjadikan aksi kekerasan dan teror untuk mencapai tujuan sebagai profesi keseharian. Itu sebabnya, Abizar yang semula bernama Jundab, juga dikenal sebagai perampok besar yang sering melakukan aksi teror di negeri-negeri di sekitarnya.
Kendati demikian, Jundab pada dasarnya berhati baik. Kerusakan dan derita korban yang disebabkan oleh aksinya kemudian menjadi titik balik dalam perjalanan hidupnya: Insyaf dan berhenti dari aksi jahatnya tersebut. Bahkan tak saja ia menyesali segala perbuatan jahatnya itu, tapi juga mengajak rekan-rekannya mengikuti jejaknya. Tindakannya itu menimbulkan amarah besar sukunya, yang memaksa Jundab meninggalkan tanah kelahirannya.
Bersama ibu dan saudara lelakinya, Anis Al Ghifar, Abizar hijrah ke Nejed Atas, Arab Saudi. Ini merupakan hijrah pertama Abizar dalam mencari kebenaran. Di Nejed Atas, Abizar tak lama tinggal. Sekalipun banyak ide-idenya dianggap revolusioner sehingga tak jarang mendapat tentangan dari masyarakat setempat.

Masuk Islam

Mendengar datangnya agama Islam, Abizar pun berpikir tentang agama baru ini. Saat itu, ajaran Nabi Muhammad ini telah mulai mengguncangkan kota Mekkah dan membangkitkan gelombang kemarahan di seluruh Jazirah Arab. Abizar yang telah lama merindukan kebenaran, langsung tertarik kepada Rasulullah, dan ingin bertemu dengan Nabi SAW. Ia pergi ke Mekkah, dan sekali-sekali mengunjungi Ka'bah. Sebulan lebih lamanya ia mempelajari dengan seksama perbuatan dan ajaran Nabi. Waktu itu masyarakat kota Mekkah dalam suasana saling bermusuhan.
Demikian halnya dengan Ka'bah yang masih dipenuhi berhala dan sering dikunjungi para penyembah berhala dari suku Quraisy, sehingga menjadi tempat pertemuan yang populer. Nabi juga datang ke sana untuk salat.
Seperti yang diharapkan sejak lama, Abizar berkesempatan bertemu dengan Nabi. Dan pada saat itulah ia memeluk agama Islam, dan kemudian menjadi salah seorang pejuang paling gigih dan berani.
Bahkan sebelum masuk Islam, ia sudah mulai menentang pemujaan berhala. Dia berkata: "Saya sudah terbiasa bersembahyang sejak tiga tahun sebelum mendapat kehormatan melihat Nabi Besar Islam." Sejak saat itu, Abizar membaktikan dirinya kepada agama Islam.

Kisah masuk Islamnya Abu Dzar

Diceritakan oleh (Abu Jamra): Ibn Abbas r.a berkata pada kami: Maukah kalian aku ceritakan kisah tentang masuk Islamnya Abu Dzar? Kami menjawab: "Ya"
Abu Dzar berkata, "Aku adalah seorang pria dari kabilah Ghifar, Kami mendengar bahwa ada seseorang mengaku nabi di Mekkah. Aku bilang pada seorang saudaraku,
'Pergilah temui orang itu, bicaralah dengannya lalu kabarkanlah beritanya padaku'. Dia pergi menjumpainya dan kembali. Aku bertanya padanya, 'Ada kabar apa yang kau bawa?', Dia berkata,
'Demi Allah, aku melihat seorang pria mengajak pada hal-hal yang baik dan melarang hal-hal yang buruk', Aku berkata padanya, 'Kamu tidak memuaskan keingin-tahuanku dengan keterangan yang hanya sedikit itu' .
Aku mengambil kantung air dan tongkat lalu pergi menuju Mekkah. Aku tak tahu siapa dan seperti apa nabi itu, dan akupun tak mau menanyakan hal itu pada siapapun. Aku terus minum air zam-zam dan terus berdiam diri di sekitar Ka'bah. Lalu Ali lewat didepanku, dia bertanya, 'Sepertinya anda orang asing disini? 'Aku jawab 'Ya'.
Dia mengajakku kerumahnya, aku lalu mengikutinya. Dia tidak menanyakan apapun padaku, Akupun tidak mengatakan apa-apa padanya.
Besok paginya aku pergi lagi ke Ka'bah untuk menanyakan sang nabi pada orang-orang disana, tapi tak seorangpun mengatakan sesuatu tentangnya. Ali kembali lewat dihadapanku dan bertanya,
'Adakah seseorang yang belum juga menemukan tempat tinggalnya?', Aku bilang,'Tidak'. Dia berkata,
'Kemari mendekatlah padaku'. Dia bertanya,
'Anda punya urusan apa disini? Apa yang membuat anda datang ke kota ini?'. Aku bilang padanya,
'Jika kamu bisa menjaga rahasiaku, maka aku akan mengatakannya ', Dia menjawab,
'Akan aku lakukan'. Aku berkata padanya,
'Kami mendengar bahwa ada seseorang di kota ini mengaku sebagai seorang nabi...aku mengutus seorang saudaraku untuk bicara dengannya dan waktu dia kembali, dia membawa kabar yang tidak memuaskan. Jadi aku berpikir untuk bertemu dengannya secara langsung'. Ali berkata,
'Tercapailah sudah tujuanmu, Aku mau menemui dia sekarang, jadi ikutlah denganku dan kemanapun aku masuk, masuklah setelahku. Jika aku menjumpai seseorang yang mungkin akan menyusahkanmu, aku akan berdiri didekat tembok berpura-pura memperbaiki sepatuku (sebagai tanda peringatan) dan anda harus segera pergi'.
Kemudian Ali berjalan dan aku mengikutinya sampai dia masuk ke suatu tempat dan aku masuk dengannya menemui sang nabi yang padanya aku berkata,
'Terangkanlah hakekat Islam itu padaku'. Waktu dia menjelaskannya, aku langsung menyatakan masuk Islam seketika itu juga.
Nabi bersabda,'Wahai Abu Dzar, simpanlah perkataanmu itu sebagai rahasiamu dan pulanglah ke daerah asalmu dan apabila kamu mendengar kabar tentang kemenangan kami, kembalilah temuilah kami'. Aku berkata,
'Demi Dia Yang telah mengutus engkau dalam kebenaran, aku akan mengumumkan ke-Islamanku secara terang-terangan dihadapan mereka (kaum musyrikin)'. Abu Dzar pergi ke Ka'bah dimana banyak orang-orang Quraish berkumpul, lalu berseru,
'Hey, Kalian orang-orang Quraish! Aku bersaksi (Ashadu a lâ ilâha ill-Allah wa ashadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluhu) Tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad itu hamba dan rasul Allah!'. (Mendengar hal itu) Orang-orang Quraish itu berteriak,
'Tangkap Sâbi itu (Muslim itu)! Mereka bangkit lalu memukuliku sampai hampir mati. Al Abbas melihatku lalu menabrakkan badannya ke badanku untuk melindungiku. Lalu dia menghadapi mereka dan berkata,
'Ada apa dengan kalian ini! Apakah kalian mau membunuh seorang dari kabilah Ghifar?, padahal selama ini kalian berdagang dan berkomunikasi melewati daerah kekuasaan mereka?!'. Mereka lalu meninggalkanku...
Besok paginya aku kembali ke Ka'bah dan berseru sama persis seperti yang aku lakukan kemarin, mereka kembali berteriak,
'Tangkap Sâbi itu (Muslim itu)!'. Lalu aku dipukuli (sampai hampir mati) sama seperti kemarin, dan kembali Al Abbas menemukan diriku dan menabrakkan badannya ke badanku untuk melindungiku, dan dia berkata pada mereka sama seperti yang dia lakukan kemarin.
Begitulah kisah tentang masuk Islamnya Abu Dzar r.a (4:725-OB)

Menjadi Sahabat Nabi

Mendapat kepercayaan Nabi SAW, Abizar ditugaskan mengajarkan Islam di kalangan sukunya. Meskipun tak sedikit rintangan yang dihadapinya, misi Abizar tergolong sukses. Bukan hanya ibu dan saudara-saudaranya, hampir seluruh sukunya yang suka merampok berhasil diislamkan. Itu pula yang mencatatkan dirinya sebagai salah seorang penyiar Islam fase pertama dan terkemuka.
Rasulullah sendiri sangat menghargainya. Ketika dia meninggalkan Madinah untuk terjun dalam "Perang pakaian compang-camping", dia diangkat sebagai imam dan administrator kota itu. Saat akan meninggal dunia, Nabi memanggil Abizar. Sambil memeluknya, Rasulullah berkata: "Abizar akan tetap sama sepanjang hidupnya." Ucapan Nabi ternyata benar, Abizar tetap dalam kesederhanaan dan sangat saleh. Seumur hidupnya ia mencela sikap hidup kaum kapitalis, terutama pada masa khalifah ketiga, Usman bin Affan, ketika kaum Quraisy hidup dalam gelimangan harta.
Bagi Abizar, masalah prinsip adalah masalah yang tak bisa ditawar-tawar. Itu sebabnya, hartawan yang dermawan ini gigih mempertahankan prinsip egaliter Islam. Penafsirannya mengenai "Ayat Kanz" (tentang pemusatan kekayaan), dalam surat Attaubah, menimbulkan pertentangan pada masa pemerintahan Usman, khalifah ketiga.
"Mereka yang suka sekali menumpuk emas dan perak dan tidak memanfaatkannya di jalan Allah, beritahukan mereka bahwa hukuman yang sangat mengerikan akan mereka terima. Pada hari itu, kening, samping dan punggung mereka akan dicap dengan emas dan perak yang dibakar sampai merah, panasnya sangat tinggi, dan tertulis: Inilah apa yang telah engkau kumpulkan untuk keuntunganmu. Sekarang rasakan hasil yang telah engkau himpun."
Atas dasar pemahamannya inilah, Abizar menentang keras ide menumpuk harta kekayaan dan menganggapnya sebagai bertentangan dengan semangat Islam. Soal ini, sedikit pun Abizar tak mau kompromi dengan kapitalisme di kalangan kaum Muslimin di Syria yang diperintah Muawiyah, saat itu.
Menurutnya, sebagaimana dikutip dalam buku Tokoh-tokoh Islam yang Diabadikan Alquran, merupakan kewajiban Muslim sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin.
Untuk memperkuat pendapatnya itu, Abizar mengutip peristiwa masa Nabi: "Suatu hari, ketika Nabi Besar sedang berjalan bersama-sama Abizar, terlihat pegunungan Ohad.
Nabi berkata kepada Abizar, 'Jika aku mempunyai emas seberat pegunungan yang jauh itu, aku tidak perlu melihatnya dan memilikinya kecuali bila diharuskan membayar utang-utangku. Sisanya akan aku bagi-bagikan kepada hamba Allah'."n her
Pelayan Dhuafa dan Pelurus Penguasa
Semasa hidupnya, Abizar Al Ghifary sangat dikenal sebagai penyayang kaum dhuafa. Kepedulian terhadap golongan fakir ini bahkan menjadi sikap hidup dan kepribadian Abizar. Sudah menjadi kebiasaan penduduk Ghiffar pada masa jahiliyah merampok kafilah yang lewat. Abizar sendiri, ketika belum masuk Islam, kerap kali merampok orang-rang kaya. Namun hasilnya dibagi-bagikan kepada kaum dhuafa. Kebiasaan itu berhenti begitu menyatakan diri masuk agama terakhir ini.
Prinsip hidup sederhana dan peduli terhadap kaum miskin itu tetap ia pegang di tempat barunya, di Syria. Namun di tempat baru ini, ia menyaksikan gubernur Muawiyah hidup bermewah-mewah. Ia malahan memusatkan kekuasaannya dengan bantuan kelas yang mendapat hak istimewa, dan dengan itu mereka telah menumpuk harta secara besar-besaran. Ajaran egaliter Abizar membangkitkan massa melawan penguasa dan kaum borjuis itu. Keteguhan prinsipnya itu membuat Abizar sebagai 'duri dalam daging' bagi penguasa setempat.
Ketika Muawiyah membangun istana hijaunya, Al Khizra, salah satu ahlus shuffah (sahabat Nabi SAW yang tinggal di serambi Masjid Nabawi) ini mengkritik khalifah, "Kalau Anda membangun istana ini dari uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri, berarti Anda melakukan 'israf' (pemborosan)." Muawiyah hanya terpesona dan tidak menjawab peringatan itu.
Muawiyah berusaha keras agar Abizar tidak meneruskan ajarannya. Tapi penganjur egaliterisme itu tetap pada prinsipnya. Muawiyah kemudian mengatur sebuah diskusi antara Abizar dan ahli-ahli agama. Sayang, pendapat para ahli itu tidak mempengaruhinya.
Muawiyah melarang rakyat berhubungan atau mendengarkan pengajaran salah satu sahabat yang ikut dalam penaklukan Mesir, pada masa khalifah Umar bin Khattab ini. Kendati demikian, rakyat tetap berduyun-duyun meminta nasihatnya. Akhirnya Muawiyah mengadu kepada khalifah Usman. Ia mengatakan bahwa Abizar mengajarkan kebencian kelas di Syria, hal yang dianggapnya dapat membawa akibat yang serius.
Keberanian dan ketegasan sikap Abizar ini mengilhami tokoh-tokoh besar selanjutnya, seperti Hasan Basri, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dan lainnya. Karena itulah, tak berlebihan jika sahabat Ali Ra, pernah berkata: "Saat ini, tidak ada satu orang pun di dunia, kecuali Abuzar, yang tidak takut kepada semburan tuduhan yang diucapkan oleh penjahat agama, bahkan saya sendiri pun bukan yang terkecuali."

Syaikh Ahmad Al-Rifa'i

Syaikh  Ahmad Al-Rifa'i
, tokoh sufi di mana Tarikat Rifa'iyyah dibangsakan, yang lahir dengan nama Ahmad bin Shalih, diketahui memiliki sejumlah nama seperti Ahmad   bin Abi'l Hasan Al-Rifa'i, Ahmad bin Ali Abul Abbas, Syaikh Ahmad kabir Rifa'i, atau nama lengkapnya Sidi Ahmad bin Yahya bin Huzain bin Rifa'ah. Ia dilahirkan pada bulan Muharram tahun 500 Hijriah/ September 1106 Masehi tetapi ada juga yang menyatakan kelahirannya pada bulan Rajab tahun 512 H/ Oktober-November 1118 Masehi. Sebagian sumber menyebut Syaikh Ahmad Rifa'i lahir di Marokko, tetapi sumber yang kuat menyatakan ia lahir di Qaryah Hassan, dekat Basrah di Irak. Menurut satu cerita, nama Rifa'i berkaitan dengan nama Suku Rifa'i yang tinggal di Makkah sejak tahun 217 H tetapi pindah ke Sevilla di Spanyol. Pada masa kakek Syaikh Ahmad Rifa'i pada tahun 450 H, datanglah keluarga Rifa'i ke Basrah.
Oleh karena datang dari barat, maka kakek Syaikh Ahmad Rifa'i memakai nama Al-Maghribi. Sebagian meriwayatkan, ayah dari Syaikh Ahmad Rifa'i yang pindah dari Maghrib ke Irak, tinggal di kota  Ummu ‘Ubaidah di Batha'ih.
Menurut riwayat, ketika berusia 7 tahun ayahanda Syaikh Ahmad Rifa'i  wafat di Baghdad. Ia kemudian diasuh oleh pamannya, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, yang tinggal di Basrah. Asy-Sya'rani dalam kitab Lawaqihul Anwar menuturkan bahwa Syaikh Mansyur Al-Batha'ih adalah seorang syaikh thariqah. Dalam sejarah hidup Syaikh Ahmad,  ia pertama kali belajar Ilmu Fiqih Mazhab Syafi'i dengan mempelajari Kitab Al-Tanbih dari Syaikh Abul Fadl Al-Wasithi, akan tetapi belakangan ia  lebih cenderung kepada ilmu tasawuf. Kecenderungan kepada tasawuf itu kemungkinan disebabkan oleh lingkungan keluarganya yang menganut gerakan sufisme dan bahkan paman yang mengasuhnya adalah guru besar (syaikh)  tarikat. Bahkan di bawah bimbingan sang paman, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, Syaikh Ahmad Rifa'i memasuki dunia tasawuf secara mendalam sampai ia menggantikan kedudukan sang paman sebagai syaikh.
            Syaikh Sholah ‘Azham, penulis masalah-masalah tasawuf asal Mesir, menuturkan kisah pemilihan syaikh yang patut menggantikan kedudukan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih yang sudah tua dan sakit-sakitan. Syaikh Mansyur Al-Batha'ih ingin memilih khalifah penggantinya.  Para murid dan pengikut yang berjumlah ribuan memohon kepada Syaikh Mansyur Al-Batha'ih agar secepatnya memilih putera Syaikh Mansyur Al-Batha'ih sendiri yang bernama Ahmad untuk menggantikan kedudukan syaikh. Namun Syaikh Mansyur Al-Batha'ih malah memilih Ahmad bin Shalih, keponakannya yang sejak kecil telah diasuhnya. Para murid dan pengikut sangat kecewa dengan pilihan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih. Mereka diam-diam menghadap isteri Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, memohon agar bersedia membujuk suaminya untuk membatalkan pilihannya pada Ahmad bin Shalih dan memilih Ahmad bin Mansyur sebagai pengganti.
            Faham dengan keinginan murid-murid dan pengikutnya, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih berencana mengadakan sayembara model sufi. Satu hari dipanggilnya sepuluh orang murid senior, termasuk puteranya, Ahmad bin Mansyur, dan keponakannya, Ahmad bin Shalih. Masing-masing mereka diberi seekor burung merpati dan sebilah pisau disertai perintah untuk berlomba menyembelih burung tersebut, dengan syarat dilakukan di tempat tersembunyi yang tidak diketahui oleh siapa pun. Lalu para peserta sayembara itu berhamburan ke berbagai arah untuk menjalankan tugas masing-masing.
            Dalam waktu tidak lama, berdatanganlah para murid senior membawa burung-burung merpati yang telah tersembelih. Setelah itu, puteranya, Ahmad bin Mansyur datang pula dengan burung merpati yang telah tersembelih. Hanya Ahmad bin Shalih yang datang paling akhir dengan burung merpati masih hidup dan belum disembelih.
            Di hadapan murid-murid senior dan puteranya, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih bertanya kepada Ahmad bin Shalih,"Wahai Ahmad, kenapa engkau datang terlambat? Dan kenapa pula burungmu belum  kau sembelih?"
             Dengan takzim Ahmad bin Shalih menjawab,"Maafkanlah saya paman, saya tidak dapat melaksanakan perintahmu. Sebab saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri. Saya tidak menemukan tempat seperti yang paman maksudkan. Saya tidak menemukan tempat yang bebas dari pengawasan. Setiap tempat yang saya datangi senantiasa saya rasakan Allah selalu hadir dan mengawasinya."
            Mendengar jawaban Ahmad bin Shalih, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih dan para murid serta puteranya terpukau. Sebab yang disampaikan Ahmad bin Shalih itu menunjukkan betapa tinggi tingkat muraqabah Ahmad bin Shalih. Untuk itu, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih menetapkan pilihan dengan berkata,"Turiiduna li mahbubikum, wa Allahu yuuridu li mahbubih" (kalian menghendaki orang yang kalian sukai, tetapi Allah lebih menghendaki orang yang Dia sukai). Demikianlah, Ahmad bin Shalih Al-Rifa'i terpilih secara mutlak sebagai pengganti Syaikh Mansyur Al-Batha'ih. Sekali pun mengganti kedudukan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, namun ajaran yang dikembangkan Syaikh Ahmad Rifa'i tidak sama persis dengan yang diajarkan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, karena Syaikh Ahmad Rifa'i juga memperoleh ijazah dari guru sufi yang lain, yaitu Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi.
           Ketika  Syaikh Ahmad Rifa'i bertemu dengan seorang wali bernama Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi, ia diberinya pelajaran berupa sindiran: "Orang yang berpaling dia tiada sampai. Orang yang ragu-ragu tidak mendapat kemenangan. Barangsiapa tidak mengetahui waktunya kurang, maka semua waktunya telah kurang." Sindiran itu sangat berkesan bagi  Syaikh Ahmad Al Rifa'i. Setahun lamanya Syaikh Ahmad Rifa'i mengulang-ulang perkataan ini.
            Setelah setahun Al-Rifa'i datang kembali menemui Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi dan meminta wasiat lagi. Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi kemudian berkata, "Sangatlah keji kejahilan bagi orang-orang yang mempunyai Akal. Sangatlah keji penyakit pada sisi semua dokter. Sangatlah keji sekalian kekasih yang meninggalkan Wushul."  Syaikh  Ahmad Al-Rifa'i kembali mengulang-ulang perkataan itu selama setahun dan ia  banyak mendapat manfaat dari perkataan itu karena perkataan itu diresapi, dihayati dan diamalkan.
           Syaikh Ahmad Rifa'i dikenal sebagai rujukan  ilmu thariqah di jamannya, karena ia dianggap memiliki ilmu haqiqat yang tinggi dan sebagai wali qutub yang agung dan masyhur sesudah jaman  Syaikh Abdul Qadir  Al-Jailany. Ke mana pun ia pergi, para pengikutnya selalu mengikutinya. Itu sebanya, para pengikutnya dikenal dengan sebutan "Al-Thoifah Al-Rifa'iyah".
Ajaran Syaikh Ahmad Rifa'i
           Ajaran tasawuf Syaikh Ahmad Rifa'i banyak diriwayatkan oleh ‘Abdul Wahhab Al-Sya'rani dalam buku At-Thabaqat al-Kubra. Ajaran zuhud, misal, menurut Syaikh Ahmad Rifa'i adalah landasan keadaan yang diridlai dan tingkatan-tingkatan yang disunnahkan. Langkah pertama salik menuju Allah adalah mengarahkan diri sepenuhnya kepada Allah.  Siapa yang belum menguasai landasan kezuhudan, maka langkah-langkah selanjutnya akan sulit menemukan yang benar. Sedang ma'rifat, menurut Syaikh Ahmad Rifa'i, adalah kehadiran dalam makna kedekatan kepada Allah disertai ilmu yaqin sehingga tersingkaplah hakikat realitas-realitas yang benar-benar meyakinkan. Dalam riwayat lain, dikisahkan Syaikh Ahmad Rifa'i berkata,"Cinta mengantar pada rindu dendam, sementara ma'rifat mengantar pada kefanaan - ketiadaan diri."
            Ajaran Syaikh Ahmad Rifa'i tidak lepas dari rebana sebagai pengiring dzikir dan shalawat. Menurut riwayat, suatu saat Syaikh Ahmad Rifa'i berdzikir dalam keadaan fanaa. Tubuhnya terangkat ke atas dan dalam keadaan tidak sadar ia menepuk-nepuk dadanya. Allah memerintahkan kepada malaikat untuk memberinya rebana di dadanya. Tetapi Syaikh Ahmad Rifa'i tidak ingat apa-apa akibat terlalu khusyuknya. Sejak saat itu, rebana menjadi bagian dari ajaran tarikat Ar-Rifa'iyyah.
            Untuk menuju kepada Tuhan, Al-Rifa'i mengajarkan dzikir yang diformulasi dengan irama dan intonasi suara yang lantang dengan tujuan supaya yang tidur bangun dan yang alpa menjadi ingat. Oleh karena cara berdzikir yang berirama itu, dunia Barat menyebut dzikir Tarikat Rifa'iyyah dengan sebutan Darwis Menangis, terutama karena suara-suara ganjil yang dihasilkan pada dzikir berjama'ah Tarikat Rifa'iyyah. Ada pula yang menyebut dzikir Rifa'iyyah dengan sebutan Dzikir Arra, yaitu "dzikir menggergaji" terutama yang dijalankan Tarikat Rifa'iyyah di Asia Tengah dan Turki. Sebagian penganut Tarikat Rifa'iyyah menyatakan tidak tahu pasti apakah Dzikir dengan suara lantang itu diajarkan oleh Syaikh Ahmad Rifa'i sendiri atau ada pengaruh dari Tarikat Yasawiyyah yang dibangsakan kepada Syaikh Ahmad Yasawi, di mana Syaikh Ahmad Yasawi dikenal sebagai pelopor dzikir lantang karena ia seorang sastrawan sufi.
  Dalam kitab at-Thabaqat al-Kubra  diterangkan, pada saat mengajar Syaikh Ahmad Rifa'i suaranya terdengar oleh orang-orang yang tinggal jauh dari tempatnya  seolah semua bisa mendengar apa yang disampaikan  sama seperti orang yang dekat dengan tempatnya mengajar. Saat Syaikh Ahmad Rifa'i mengajar,  penduduk di sekitar  Ummi Abidah beramai-ramai keluar dari rumahnya untuk mendengarkan apa yang disampaikan oleh Syaikh Ahmad Rifa'i. Konon,  orang yang  tuli pun  jika hadir mengaji, akan dibukakan pendengarannya oleh Allah sehingga bisa mendengar apa yang disampaikan  Syaikh Ahmad Rifa'i. Para guru tarikat  banyak yang hadir untuk mendengarkan wejangan   Syaikh Ahmad Al-Rifa'i. Mereka biasanya menggelar sajadah sebagai tempat duduk. Setelah Syaikh Ahmad Al-Rifa ‘i selesai memberi pelajaran, mereka pulang sambil menempelkan sajadah ke dada mereka  masing-masing. Setelah sampai di rumah,  mereka dengan lancar  bisa menjelaskan semua yang telah mereka dengar  kepada para muridnya.
Dari berbagai ajaran Al-Rifa'i yang paling menonjol dan terkenal adalah Dabus, suatu didikan yang luar biasa ganjil.Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimensions of Islam (1975) menganggap Tarikat Rifa'iyyah sebagai tarikat ganjil karena melatih murid-muridnya untuk tahan api, melukai diri sendiri dengan benda-benda tajam, berjalan di atas pecahan kaca, mematukkan diri dengan ular berbisa, memakan kaca, ditusuk benda-benda runcing (dabus), dengan anggapan murid-murid yang mencapai tahap fana tidak lagi memiliki rasa sakit karena sangat dzikir kepada Allah.
Asy-Sya'rani mengomentari kedudukan Al-Rifa'i dalam kedudukan tasawuf  dengan ungkapan,"Dia adalah seorang tokoh dalam tasawuf, mengenal berbagai keadaan kaum sufi, dan banyak menuingkap masalah-masalah posisi mereka. Setiap kali ia keluar, ia selalu diikuti orang banyak. Dia memiliki murid."
            Keanehan dalam berbagai hal, tidak hanya dimiliki Al-Rifa'i, banyak hal aneh yang juga sering terjadi pada diri murid Syaikh Ahmad Rifa'i seperti mampu  masuk ke dalam api yang sedang menyala, menjinakkan binatang buas seperti harimau, membuat hewan buas patuh dan menuruti apa yang mereka katakana, sehingga singa pun  dapat dijadikan kendaraan oleh mereka. Di Mesir banyak cerita tentang bagaimana murid-murid Tarikat Rifa'iyyah menolong orang-orang yang dipatuk ular cobra.  Pendek kata, berbagai keajaiban ditunjukkan oleh murid-murid Tarikat Rifa'iyyah.
 Keteladanan Hidup Syaikh Ahmad Rifa'i
           Salah satu dari sekian banyak  budi pekerti yang diteladankan  Syaikh Ahmad Rifa'i  adalah  seringnya ia mengunjungi tempat orang-orang berpenyakit kusta. Ia tidak sekedar mengunjungi, tetapi  mencuci bersih pakaian orang-orang berpenyakit kusta yang sangat menjijikkan menurut pandangan umum itu. Dipeliharanya orang-orang yang sedang sakit itu dengan mengantarkan makanan untuk mereka dan ia  juga turut makan bersama-sama mereka  tanpa merasa jijik.
              Ketika Syaikh Ahmad Al Rifa'i datang dari perjalanan dan  telah dekat dengan kampungnya,  maka dipungutnya kayu bakar. Setelah  itu dibagi-bagikannya kayu bakar itu  kepada orang-orang sakit, orang buta, orang-orang tua dan orang  yang membutuhkannya. Syaikh Ahmad Rifa'i berkata, "Mendatangi orang-orang yang semacam itu adalah  wajib bagi kita dan bukan sekedar sunnah. Nabi Saw bersabda : "Barang siapa yang memuliakan orang tua muslim, maka Allah akan meluluhkan orang untuk memuliakannya jika ia sudah tua".
              Setiap berada dijalan, Syaikh Ahmad Rifa'i selalu menunggu  lewatnya orang buta, di mana saat  ada orang buta lewat  lalu dipegang dan dituntun serta diantar  sampai ke tujuan. Syaikh Ahmad Rifa'i memiliki kasih sayang bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada binatang. Dikisahkan satu saat  ada seekor anjing menderita penyakit kusta. Kemana saja anjing itu pergi, ia selalu  diusir orang. Anjing itu kemudian dipelihara oleh Syaikh  Ahmad Al-Rifa'i. Anjing itu dimandikan dengan air panas, lalu diberi obat dan makanan, sampai anjing itu sembuh dari penyakit yang dideritanya. Kalau ada orang yang bertanya tentang apa yang telah  diperbuatnya  Syaikh Ahmad Rifa'i selalu berkata , "Aku selalu membiasakan pekerjaan yang baik."
            Syaikh Ahmad Rifa'i kalau kebetulan dihinggapi nyamuk akan  membiarkannya. Ia tidak mengijinkan orang lain untuk  mengusirnya. Syaikh Ahmad Rifa'i berkata, "Biarkanlah dia meminum darah yang dibagikan Allah kepadanya."
             Pada suatu hari ada seekor kucing sedang nyenyak tidur di atas lengan bajunya. Waktu shalat telah masuk. Syaikh Ahmad Rifa'i lalu menggunting lengan bajunya itu karena ia  tidak sampai hati mengejutkan kucing yang sedang lelap tidur itu. Seusai shalat,  lengan bajunya itu diambil dan dijahit lagi.
             Jika ada orang minta dituliskan wafak  kepadanya, maka Syaikh Ahmad Rifa'i akan mengambil kertas lalu ditulis tanpa pena. Anehnya, sewaktu ada orang memberikan kertas yang pernah ditulisnya tanpa pena setahun sebelumnya, ia menolak untuk menulis ulang di atas kertas itu sambil menjelaskan bahwa kertas itu sudah pernah ditulisinya.
               Budi pekerti mulia  lain yang ditunjukkan Syaikh Ahmad Rifa'i ialah ia  tidak mau membalas kejahatan dengan kejahatan. Apabila ia dimaki  orang, ia hanya  menundukkan kepala dan bersujud  mencium bumi dan menangis serta meminta maaf  kepada orang yang memakinya.  Syaikh Ahmad Rifa'i pernah dikirimi surat oleh Syeikh Ibrahim al-Basity yang isi suratnya merendahkan martabatnya. Syaikh Ahmad Rifa'i berkata kepada orang yang menyampaikan surat itu, "Coba bacalah surat itu!"
        Ternyata isi surat itu  adalah  "Hai orang yang buta sebelah, hai Dajjal, hai orang yang membikin bid'ah,  dan berbagai macam caci-maki yang menyakitkan hati."  Setelah  pembawa surat itu selesai membaca surat,  maka surat itu diterimakan kepada Syaikh Ahmad Rifa'i, dan setelah membaca Syaikh Ahmad Rifa'i berkata : "Ini semua benar, semoga Allah membalas kebaikan kepadanya." Lalu  Syaikh Ahmad Rifa'i  berkata dengan bersyair, "Maka tidaklah aku peduli kepada orang yang meragukan aku yang penting menurut Allah, aku bukanlah orang yang meragukan." Sebentar kemudian  Syaikh Ahmad Rifa'i berkata : "Tulislah sekarang jawaban balasanku yang berbunyi "Dari orang rendah kepada Tuanku Syaikh Ibrahim. Mengenai tulisan Tuan seperti yang tertera dalam surat, memang Allah telah menjadikan aku menurut apa yang dikehendaki-Nya dan aku mengharapkanmu hendaknya sudi bersedekah kepadaku dengan mendo'akan dan memaafkanku."
              Setelah surat balasan ini sampai pada Syaikh Ibrahim al-Basity dan dibaca isinya, kemudian Syaikh Ibrahim pergi. Menurut cerita,   tidak ada seorang pun yang tahu ke mana syaikh itu pergi.
                Kisah menggemparkan yang pernah dialami Syaikh Ahmad Rifa'i adalah sewaktu ia melakukan ibadah Haji dan  ketika berziarah ke Makam Nabi Muhammad Saw. Saat itu terlihat  tangan menjulur dari dalam kubur Nabi Saw bersalaman dengan beliau dan beliau pun terus mencium tangan Nabi Saw tersebut. Kejadian itu disaksikan oleh banyak orang  yang  berziarah ke Makam Nabi Saw tersebut. Semua orang takjub dan terheran-heran dengan peristiwa aneh itu.
              Setelah menyaksikan keajaiban gurunya, salah seorang murid Syaikh Ahmad Rifa'i berkata, "Ya Sayyidi! Tuan Guru adalah Qutub!". Syaikh Ahmad Rifa'i  menjawab, "Sucikan syak wasangkamu daripada Qutubiyah".  Lalu  murid itu berkata lagi, "Tuan Guru adalah Ghauts!".  Syaikh Ahmad Rifa'i menjawab lagi, "Sucikan syak wasangkamu daripada Ghautsiyah".
             Menurut Al-Imam Asy-Sya'rani, jawaban-jawaban Syaikh Ahmad Rifa'i atas simpulan muridnya adalah dalil bahwa Syaikh Ahmad Al-Rifa'i  sejatinya telah melampaui "Maqaamat" dan "Athwar",   karena ketinggian derajatnya , kualitas maqam-nya, dan dekatnya dengan Allah sehingga tidak diketahuinya maqam, meski terdapat beberapa maqam.
            Tentang waktu wafatnya Syaikh Ahmad Rifa'i tidak terdapat keseragaman. Sebagian menyatakan Syaikh Ahmad Rifa'i  wafat tahun 578 H di al-Batha'ih, yang lain menyatakan  Syaikh Ahmad Rifa'i wafat di Umm Ubaidah pada 22 Jumadilawwal 578 H atau 23 September 1183 M. Namun ada pula yang menyatakan  Syaikh Ahmad Rifa'i wafat  pada hari Kamis, waktu Dhuhur, tanggal 12 Rabbiul awwal 570 H dengan mengucapkan dua kalimah syahadat.

Kisah Syaikh Albani

Kisah Syaikh Albani mentahqiq kitab-kitab lama
Termasuk di antara ulama yang telah mentahqiq adalah Syaikh Al-Albani rahimahullah. Di antara kerja dia adalah dia mentahqiq buku-buku lama. Syaikh Albani apabila dia tinggal di Syria, ada satu perpustakaan yang juga menjadi tempat simpanan manuskrip kitab-kitab Islam. Nama perpustakaan itu “Al-Maktabah Al-Zhahiriyyah” di Dimasyq.
Antara yang diceritakan, dia berkata, ‘Aku melihat cukup banyak kitab-kitab lama yang masih lagi belum melihat cahaya matahari’. Terus tersimpan di rak-rak buku.
Kita jangan terkejut banyak kitab-kitab lama yang kita lihat di perpustakaan-perpustakaan pada hari ini, kitab-kitab ini sebenarnya baru dicetak. 100-200 tahun lepas tidak ada, tidak tersebar di pasaran.
Ini di antara kelebihan zaman sekarang. Walaupun tidak dinafikan akhir zaman ini makin lama makin teruk (keadaan umat Islam), tetapi dalam keterukan itu ada terselit kebaikan. Di antaranya adalah bidang cetakan kitab-kitab agama, kitab-kitab ilmu.
Dalam perpustakaan besar biasanya ada satu seksyen khas yang dipisahkan daripada seksyen untuk bacaan awam, iaitu seksyen yang menyimpan manuskrip, buku-buku lama tulisan tangan. Bukan semua orang boleh masuk ke bahagian ini, kena dapat izin khas.
Syaikh Albani dapat masuk ke bahagian manuskrip di dalam perpustakaan Al-Zhahiriyyah ini, apabila penjaga-penjaga di situ melihat Syaikh Albani begitu tekun, bahkan dia yang sampai dulu sebelum pustakawan sampai, pustakawan dah balik dia masih ada lagi. Jadi mereka memberi kunci perpustakaan itu kepadanya dan dia boleh masuk ke satu bahagian khas tempat menyimpan manuskrip di perpustakaan itu.
Syaikh Albani rahimahullah berkata, “Adakalanya aku memanjat tangga, aku membelek-belek manuskrip, aku mendapati bahawa kadangkala dua mukasurat daripada manuskrip itu masih lagi tercantum (melekat), tidak dibuka”.
Jadi antara kerja-kerja teknikalnya ialah Syaikh Albani kena membuka perlahan-lahan mukasurat yang tercantum itu supaya tidak terkoyak.
Ini menunjukkan bahawa sejak ditulis oleh Kuttab, buku itu tidak pernah dibuka. Ia ditulis, dijual, tapi tidak dibaca, jauh sekali daripada dimanfaatkan. Ini adalah di antara sejarah penulisan kitab-kitab ilmu.
Jadi ini kerja pentahqiq. Dia akan membandingkan beberapa manuskrip. Kalau dia dapat dua manuskrip, itu sudah cukup bagus. Kadang-kadang cuma ada satu manuskrip, jadi cetakan buku itu hanya bersandarkan pada satu manuskrip itu sahaja. Kalau manuskrip itu salah, maka salahlah ribuan kitab yang dicetak bersandarkan kepada satu manuskrip itu. Yang baiknya adalah kalau ada dua atau tiga, atau lebih manuskrip dari simpanan perpustakaan-perpustakaan yang berbeza supaya dapat dibandingkan.
Kalau di antara manuskrip itu semuanya sama tidak ada masalah, tetapi jika ada perbezaan, pentahqiq akan membandingkan, meneliti dan membuat kesimpulan.
(Disalin dari rakaman kuliah Syarhu Al-Sunnah, 06.10.2013, Yayasan Ta’lim, minit ke 00:02:48 – 00:15:05)
PERKONGSIAN TAMBAHAN (admin):
Semoga ada pelajaran yang boleh diambil oleh para penuntut ilmu dari gambaran kehidupan Syaikh Al-Albani rahimahullah yang tercermin melalui gambar-gambar di bawah ini.
Rumah tempat Sy. Albani membesar
Rumah tempat Sy. Albani membesar di dalamnya
Rumah yang sama tempat beliau dibesarkan
Rumah yang sama tempat beliau dibesarkan
Gambar rumah yang sama
Gambar rumah yang sama
Kawasan tempat beliau rahimahullah tinggal
Kawasan tempat tinggal Syaikh Albani dan keluarganya selepas berhijrah dari Albania
Kawasan Syaikh Albani dan keluarganya tinggal selepas berhijrah dari Albania
Gambar yang sama
Kedai jam di mana Syaikh mula bekerja bersama bapanya seperti yang diceritakannya dalam kasetnya, dan kemudian Syaikh membuka kedainya sendiri
Kedai jam di mana Syaikh mula bekerja bersama bapanya seperti yang diceritakannya dalam kaset, dan kemudian Syaikh membuka kedainya sendiri
Kedai yang sama Syaikh bekerja bersama bapanya, lelaki dalam gambar adalah adik bongsunya
Kedai yang sama Syaikh bekerja bersama bapanya, lelaki dalam gambar adalah adik bongsunya
Lagi gambar kedai yang sama
Lagi gambar kedai yang sama
Jalan di mana terletaknya kedai Syaikh Albani sendiri
Jalan di mana terletaknya kedai Syaikh Albani sendiri
Gambar resit dari kedai jam Syaikh Albani.
Gambar resit dari kedai jam Syaikh Albani.
Sekolah pertama Syaikh Albani tetapi tidak lama kemudian bapanya mengeluarkannya dari sekolah ini untuk mengajarnya sendiri, dimulakan dengan menghafal Al-Quran di bawah bimbingan bapanya sendiri.
Madrasah Nizamiyah, sekolah pertama Syaikh Albani. Namun tidak lama kemudian bapanya mengeluarkannya dari sekolah ini untuk mengajarnya menghafal Al-Quran di bawah bimbingan bapanya sendiri.
Gambar sekolah yang sama
Gambar sekolah yang sama
Sekolah yang sama
Sekolah yang sama
Maktabah Zhahiriyah di Dimasyq, perpustakaan yang sangat Syaikh cintai dan menghabiskan banyak masa hidupnya di sini. Kadangkala Syaikh menelaah buku di atas lantai, kadangkala di bilik yang dikhususkan untuk kegunaan beliau, kadangkala berdiri, kadangkala di tangga. Menurut anaknya Abdul Latif, Syaikh sering terlupa untuk makan.
Maktabah Zhahiriyah di Dimasyq, perpustakaan yang sangat Syaikh cintai dan menghabiskan banyak masa di sini. Kadangkala Syaikh menelaah buku di atas lantai, kadangkala di bilik khas yang disediakan untuk kegunaannya sendiri, kadangkala berdiri, kadangkala di tangga-tangga. Menurut anaknya Abdul Latif, Syaikh sering terlupa untuk makan pada hari-hari itu.
Pintu masuk perpustakaan
Pintu masuk perpustakaan. Syaikh dibenarkan masuk pada bila-bila masa, siang atau malam.
Perpustakaan Al-Zhahiriyah, di mana dikhaskan untuk Syaikh kawasan khusus untuk beliau rahimahullah
Perpustakaan Al-Zhahiriyah, di mana dikhaskan untuk Syaikh bilik dan meja untuk kegunaan beliau rahimahullah mentelaah kitab-kitab
Perpustakaan Al-Zhahiriyah
Perpustakaan Al-Zhahiriyah
Halaman perpustakaan
Laman perpustakaan
Ini adalah buku Al-Tsamaru Al-Mustathaab fi Fiqhi Al-Sunnah wal-Kitaab, buku pertama Syaikh mula menyemak dan mengesahkan hadis-hadis.
Ini adalah buku Al-Tsamaru Al-Mustathab fi Fiqhi Al-Sunnah wal-Kitab, buku pertama Syaikh mula menyemak dan mengesahkan hadis-hadis.
Makhtutah (Manuskrip) kitab Al-Silsilah Al-Da'ifah, Syaikh Al-Albani
Makhtutah (Manuskrip) kitab Al-Silsilah Al-Da’ifah, Syaikh Al-Albani
Salah satu cetakan fatwa beliau
Salah satu cetakan fatwa beliau
Kulit buku beliau, Sahih Sirah Al-Nabawiyah
Kulit buku tulisan tangannya, Sahih Sirah Al-Nabawiyah
Salah satu mukasurat di dalamnya
Salah satu mukasurat di dalamnya
Kulit buku Sahih Abi Daud
Kulit buku Manuskrip Sahih Abi Daud
Satu mukasurat di dalamnya
Satu mukasurat di dalamnya
Majalah pertama yang Syaikh Albani menulis di dalamnya, diterbitkan di Dimasyq.
Majalah pertama yang Syaikh Albani menulis di dalamnya, diterbitkan di Dimasyq.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

Riwayat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani




Riwayat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani


Syekh Abdul Qadir al-Jaylani merupakan tokoh sufi paling masyhur di Indonesia. Peringatan Haul waliyullah ini pun selalu dirayakan setiap tahun oleh umat Islam Indonesia. Tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Tarekat Qadiriyah ini lebih dikenal masyarakat lewat cerita-cerita karamahnya dibandingkan ajaran spiritualnya.Terlepas dari pro dan kontra atas kebenaran karamahnya, Biografi (manaqib) tentangnya sering dibacakan dalam majelis yang dikenal di masyarakat dengan sebutan manaqiban.
Nama lengkapnya adalah Abdul Qadir ibn Abi Shalih Abdullah Janki Dusat al-Jaylani. Al-Jaylani merupakan penisbatan pada Jil, daerah di belakang Tabaristan. Di tempat itulah ia dilahirkan. Selain Jil, tempat ini disebut juga dengan Jaylan dan Kilan.
NASAB
Sayyid Abu Muhammad Abdul Qadir dilahirkan di Naif, Jailan, Iraq, pada bulan Ramadhan 470 H, bertepatan dengan th 1077 M. Ayahnya bernama Shahih, seorang yang taqwa keturunan Hadhrat Imam Hasan, r.a., cucu pertama Rasulullah saw, putra sulung Imam Ali ra dan Fatimah r.a., puteri tercinta Rasul. Ibu beliau adalah puteri seorang wali, Abdullah Saumai, yang juga masih keturunan Imam Husein, r.a., putera kedua Ali dan Fatimah. Dengan demikian, Sayid Abdul Qadir adalah Hasaniyin sekaligus Huseiniyin.
MASA MUDA
Sejak kecil, ia pendiam, nrimo, bertafakkur dan sering melakukan agar lebih baik, apa yang disebut ‘pengalaman-pengalaman mistik’. Ketika berusia delapan belas tahun, kehausan akan ilmu dan keghairahan untuk bersama para orang saleh, telah membawanya ke Baghdad, yang kala itu merupakan pusat ilmu dan peradaban. Kemudian, beliau digelari orang Ghauts Al-A’dzam atau wali Ghauts terbesar.
Dalam terminologi kaum sufi, seorang Ghauts menduduki jenjang ruhaniah dan keistimewaan kedua dalam hal memohon ampunan dan ridha Allah bagi ummat manusia setelah para nabi. Seorang ulama’ besar di masa kini, telah menggolongkannya ke dalam Shaddiqin, sebagaimana sebutan Al Qur’an bagi orang semacam itu. Ulama ini mendasarkan pandangannya pada peristiwa yang terjadi pada perjalanan pertama Sayyid Abdul Qadir ke Baghdad.
Diriwayatkan bahwa menjelang keberangkatannya ke Baghdad, ibunya yang sudah menjanda, membekalinya delapan puluh keping emas yang dijahitkan pada bagian dalam mantelnya, persis di bawah ketiaknya, sebagai bekal. Uang ini adalah warisan dari almarhum ayahnya, dimaksudkan untuk menghadapi masa-masa sulit. Kala hendak berangkat, sang ibu diantaranya berpesan agar jangan berdusta dalam segala keadaan. Sang anak berjanji untuk senantiasa mencamkan pesan tersebut.
Begitu kereta yang ditumpanginya tiba di Hamadan, menghadanglah segerombolan perampok. Kala menjarahi, para perampok sama sekali tak memperhatikannya, karena ia tampak begitu sederhana dan miskin. Kebetulan salah seorang perampok menanyainya apakah ia mempunyai uang atau tidak. Ingat akan janjinya kepada sang ibu, si kecil Abdul Qadir segera menjawab: “Ya, aku punya delapan puluh keping emas yang dijahitkan di dalam baju oleh ibuku.” Tentu saja para perampok terperanjat keheranan. Mereka heran, ada manusia sejujur ini.
Mereka membawanya kepada pemimpin mereka, lalu menanyainya, dan jawabannya pun sama. Begitu jahitan baju Abdul Qadir dibuka, didapatilah delapan puluh keping emas sebagaimana dinyatakannya. Sang kepala perampok terhenyak kagum. Ia kisahkan segala yang terjadi antara dia dan ibunya pada saat berangkat, dan ditambahkannya jika ia berbohong, maka akan tak bermakna upayanya menimba ilmu agama.
Mendengar hal ini, menangislah sang kepala perampok, jatuh terduduk di kali Abdul Qadir, dan menyesali segala dosa yang pernah dilakukan. Diriwayatkan, bahwa kepala perampok ini adalah murid pertamanya. Peristiwa ini menunjukkan proses menjadi Shiddiq. Andaikata ia tak benar, maka keberanian kukuh semacam itu demi kebenaran, dalam saat-saat kritis, tak mungkin baginya.
BELAJAR DI BAGHDAD
Selama belajar di Baghdad, karena sedemikian jujur dan murah hati, ia terpaksa mesti tabah menderita. Berkat bakat dan kesalehannya, ia cepat menguasai semua ilmu pada masa itu. Ia membuktikan diri sebagai ahli hukum terbesar di masanya. Tetapi, kerinduan ruhaniahnya yang lebih dalam gelisah ingin mewujudkan diri. Bahkan di masa mudanya, kala tenggelam dalam belajar, ia gemar musyahadah*).
Ia sering berpuasa, dan tak mau meminta makanan dari seseorang, meski harus pergi berhari-hari tanpa makanan. Di Baghdad, ia sering menjumpai orang-orang yang berfikir serba ruhani, dan berintim dengan mereka. Dalam masa pencarian inilah, ia bertemu dengan Hadhrat Hammad, seorang penjual sirup, yang merupakan wali besar pada zamannya.
Lambat laun wali ini menjadi pembimbing ruhani Abdul Qadir. Hadhrat Hammad adalah seorang wali yang keras, karenanya diperlakukannya sedemikian keras sufi yang sedang tumbuh ini. Namun calon ghauts ini menerima semua ini sebagai koreksi bagi kecacatan ruhaninya.
LATIHAN-LATIHAN RUHANIAH
Setelah menyelesaikan studinya, ia kian keras terhadap diri. Ia mulai mematangkan diri dari semua kebutuhan dan kesenangan hidup. Waktu dan tenaganya tercurah pada shalat dan membaca Qur’an suci. Shalat sedemikian menyita waktunya, sehingga sering ia shalat shubuh tanpa berwudhu lagi, karena belum batal.
Diriwayatkan pula, beliau kerapkali khatam membaca Al-Qur’an dalam satu malam. Selama latihan ruhaniah ini, dihindarinya berhubungan dengan manusia, sehingga ia tak bertemu atau berbicara dengan seorang pun. Bila ingin berjalan-jalan, ia berkeliling padang pasir. Akhirnya ia tinggalkan Baghdad, dan menetap di Syustar, dua belas hari perjalanan dari Baghdad. Selama sebelas tahun, ia menutup diri dari dunia. Akhir masa ini menandai berakhirnya latihannya. Ia menerima nur yang dicarinya. Diri-hewaninya kini telah digantikan oleh wujud mulianya.
DICOBA IBLIS
Suatu peristiwa terjadi pada malam babak baru ini, yang diriwayatkan dalam bentuk sebuah kisah. Kisah-kisah serupa dinisbahkan kepada semua tokoh keagamaan yang dikenal di dalam sejarah; yakni sebuah kisah tentang penggodaan. Semua kisah semacam itu memaparkan secara perlambang, suatu peristiwa alamiah dalam kehidupan.
Misal, tentang bagaimana nabi Isa as digoda oleh Iblis, yang membawanya ke puncak bukit dan dari sana memperlihatkan kepadanya kerajaan-kerajaan duniawi, dan dimintanya nabi Isa a.s., menyembahnya, bila ingin menjadi raja dari kerajaan-kerajaan itu. Kita tahu jawaban beliau, sebagai pemimpin ruhaniah. Yang kita tahu, hal itu merupakan suatu peristiwa perjuangan jiwa sang pemimpin dalam hidupnya.
Demikian pula yang terjadi pada diri Rasulullah saw. Kala beliau kukuh berdakwah menentang praktek-praktek keberhalaan masyarakat dan musuh-musuh beliau, para pemimpin Quraisy merayunya dengan kecantikan, harta dan tahta. Dan tak seorang Muslim pun bisa melupakan jawaban beliau: “Aku sama sekali tak menginginkan harta ataupun tahta. Aku telah diutus oleh Allah sebagai seorang Nadzir**) bagi umat manusia, menyampaikan risalah-Nya kepada kalian. Jika kalian menerimanya, maka kalian akan bahagia di dunia ini dan di akhirat kelak. Dan jika kalian menolak, tentu Allah akan menentukan antara kalian dan aku.”
Begitulah gambaran dari hal ini, dan merupakan fakta kuat kemaujudan duniawi. Berkenaan dengan hal ini, ada dua versi kisah tentang Syaikh Abdul Qadir Jailani. Versi pertama mengisahkan, bahwa suatu hari Iblis menghadapnya, memperkenalkan diri sebagai Jibril, dan berkata bahwa ia membawa Buraq dari Allah, yang mengundangnya untuk menghadap-Nya di langit tertinggi.
Sang Syaikh segera menjawab bahwa si pembicara tak lain adalah si Iblis, karena baik Jibril maupun Buraq takkan datang ke dunia bagi selain Nabi Suci Muhammad saw. Setan toh masih punya cara lain, katanya: “Baiklah Abdul Qadir, engkau telah menyelamatkan diri dengan keluasan ilmumu.” “Enyahlah!, bentak sang wali.” Jangan kau goda aku, bukan karena ilmuku, tapi karena rahmat Allahlah aku selamat dari perangkapmu”.
Versi kedua mengisahkan, ketika sang Syaikh sedang berada di rimba belantara, tanpa makanan dan minuman, untuk waktu yang lama, awan menggumpal di angkasa, dan turunlah hujan. Sang Syaikh meredakan dahaganya. Muncullah sosok terang di cakrawala dan berseru: “Akulah Tuhanmu, kini Kuhalalkan bagimu segala yang haram.” Sang Syaikh berucap: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” Sosok itu pun segera pergi berubah menjadi awan, dan terdengar berkata: “Dengan ilmumu dan rahmat Allah, engkau selamat dari tipuanku.”
Lalu setan bertanya tentang kesigapan sang Syaikh dalam mengenalinya. Sang Syaikh menyahut bahwa pernyataannya menghalalkan segala yang haramlah yang membuatnya tahu, sebab pernyataan semacam itu tentu bukan dari Allah.
Kedua versi ini benar, yang menyajikan dua peristiwa berlainan secara perlambang. Satu peristiwa dikaitkan dengan perjuangannya melawan kebanggaan akan ilmu. Yang lain dikaitkan dengan perjuangannya melawan kesulitan-kesulitan ekonomi, yang menghalangi seseorang dalam perjalanan ruhaniahnya.
Kesadaran aka kekuatan dan kecemasan akan kesenangan merupakan kelemahan terakhir yang mesti enyah dari benak seorang salih. Dan setelah berhasil mengatasi dua musuh abadi ruhani inilah, maka orang layak menjadi pemimpin sejati manusia.
PANUTAN MASYARAKAT
Kini sang Syaikh telah lulus dari ujian-ujian tersebut. Maka semua tutur kata atau tegurannya, tak lagi berasal dari nalar, tetapi berasal dari ruhaninya.
Kala ia memperoleh ilham, sebagaimana sang Syaikh sendiri ingin menyampaikannya, keyakinan Islami melemah. Sebagian muslim terlena dalam pemuasan jasmani, dan sebagian lagi puas dengan ritus-ritus dan upacara-upacara keagamaan. Semangat keagamaan tak dapat ditemui lagi.
Pada saat ini, ia mempunyai mimpi penting tentang masalah ini. Ia melihat dalam mimpi itu, seolah-olah sedang menelusuri sebuah jalan di Baghdad, yang di situ seorang kurus kering sedang berbaring di sisi jalan, menyalaminya.
Ketika sang Syaikh menjawab ucapan salamnya, orang itu memintanya untuk membantunya duduk. Begitu beliau membantunya, orang itu duduk dengan tegap, dan secara menakjubkan tubuhnya menjadi besar. Melihat sang Syaikh terperanjat, orang asing itu menentramkannya dengan kata-kata: ” Akulah agama kakekmu, aku menjadi sakit dan sengsara, tetapi Allah telah menyehatkanku kembali melalui bantuanmu.”
Ini terjadi pada malam penampilannya di depan umum di masjid, dan menunjukkan karir mendatang sang wali. Kemudian masyarakat tercerahkan, menamainya Muhyiddin, ‘pembangkit keimanan’, gelar yang kemudian dipandang sebagai bagian dari namanya yang termasyhur. Meski telah ia tinggalkan kesendiriannya (uzlah), ia tak jua berkhutbah di depan umum. Selama sebelas tahun berikutnya, ia mukim di sebuah sudut kota, dan meneruskan praktek-praktek peribadatan, yang kian mempercerah ruhaniyah.
KEHIDUPAN RUMAH TANGGA
Menarik untuk dicatat, bahwa penampilannya di depan umum selaras dengan kehidupan perkawinannya. Sampai tahun 521 H, yakni pada usia kelima puluh satu, ia tak pernah berpikir tentang perkawinannya. Bahkan ia menganggapnya sebagai penghambat upaya ruhaniyahnya. Tetapi, begitu beliau berhubungan dengan orang-orang, demi mematuhi perintah Rasul dan mengikuti Sunnahnya, ia pun menikahi empat wanita, semuanya saleh dan taat kepadanya. Ia mempunyai empat puluh sembilan anak – dua puluh putra, dan yang lainnya putri.
Empat putranya yang termasyhur akan kecendekian dan kepakarannya, al:
Syaikh Abdul Wahab, putera tertua adalah seorang alim besar, dan mengelola madrasah ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah sang wali wafat, ia juga berkhutbah dan menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan dengan masalah-masalah syariat Islam. Ia juga memimpin sebuah kantor negara, dan demikian termasyhur.
Syaikh Isa, ia adalah seorang guru hadits dan seorang hakim besar. Dikenal juga sebagai seorang penyair. Ia adalah seorang khatib yang baik, dan juga Sufi. Ia mukim di Mesir, hingga akhir hayatnya.
Syaikh Abdul Razaq. Ia adalah seorang alim, sekaligus penghafal hadits. Sebagaimana ayahnya, ia terkenal taqwa. Ia mewarisi beberapa kecenderungan spiritual ayahnya, dan sedemikian masyhur di Baghdad, sebagaimana ayahnya.
Syaikh Musa. Ia adalah seorang alim terkenal. Ia hijrah ke Damaskus, hingga wafat.
Tujuh puluh delapan wacana sang wali sampai kepada kita melalui Syaikh Isa. Dua wacana terakhir, yang memaparkan saat-saat terakhir sang wali, diriwayatkan oleh Syaikh Wahab. Syaikh Musa termaktub pada wacana ke tujuh puluh sembilan dan delapan puluh. Pada dua wacana terakhir nanti disebutkan, pembuatnya adalah Syaikh Abdul Razaq dan Syaikh Abdul Aziz, dua putra sang wali, dengan diimlakkan oleh sang wali pada saat-saat terakhirnya.
KESEHARIANNYA
Sebagaimana telah kita saksikan, sang wali bertabligh tiga kali dalam seminggu. Di samping bertabligh setiap hari, pada pagi dan malam hari, ia mengajar tentang Tafsir Al Qur’an, Hadits, Ushul Fiqih, dan mata pelajaran lain. Sesudah Dhuhur, ia memberikan fatwa atas masalah-masalah hukum, yang diajukan kepadanya dari segenap penjuru dunia. Sore hari, sebelum sholat Maghrib, ia membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Sesudah sholat Maghrib, ia selalu makan malam, karena ia berpuasa sepanjang tahun. Sebalum berbuka, ia menyilakan orang-orang yang butuh makanan di antara tetangga-tetangganya, untuk makan malam bersama. Sesudah sholat Isya’, sebagaimana kebiasaan para wali, ia mengaso di kamarnya, dan melakukan sebagian besar waktu malamnya dengan beribadah kepada Allah – suatu amalan yang dianjurkan Qur’an Suci. Sebagai pengikut sejati Nabi, ia curahkan seluruh waktunya di siang hari, untuk mengabdi ummat manusia, dan sebagian besar waktu malam dihabiskan untuk mengabdi Penciptanya.
Pengaruh dan Karya
Waktunya banyak diisi dengan meengajar dan bertausyiah. Hal ini membuat Syekh tidak memiliki cukup waktu untuk menulis dan mengarang. Bahkan, bisa jadi beliau tidak begitu tertarik di bidang ini. Pada tiap disiplin ilmu, karya-karya Islam sudah tidak bisa dihitung lagi. Bahkan, sepertinya perpustakaan tidak butuh lagi diisi buku baru. Yang dibutuhkan masyarakat justru saran seorang yang bisa meluruskan yang bengkok dan membenahi kesalahan masyarakat saat itu. Inilah yang memanggil suara hati Syekh. Ini pula yang menjelaskan pada kita mengapa tidak banyak karya yang ditulis Syekh.
Memang ada banyak buku dan artikel yang diklaim sebagai tulisannya. Namun, yang disepakati sebagai karya syekh hanya ada tiga:
1.Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq merupakan karyanya yang mengingatkan kita dengan karya monumental al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din. Karya ini jelas sekali terpengaruh, baik tema maupun gaya bahasanya, dengan karya al-Ghazali itu. Ini terlihat dengan penggabungan fikih, akhlak, dan prinsip suluk. Ia memulai dengan membincangkan aspek ibadah, dilanjutkan dengan etika Islam, etika doa, keistimewaan hari dan bulan tertentu. Ia kemudian membincangkan juga anjuran beribadah sunah, lalu etika seorang pelajar, tawakal, dan akhlak yang baik.
2.Al-Fath al-Rabbani wa al-Faydh al-Rahmani merupakan bentuk tertulis (transkripsi) dari kumpulan tausiah yang pernah disampaikan Syekh. Tiap satu pertemuan menjadi satu tema. Semua pertemuan yang dibukukan ada 62 kali pertemuan. Pertemuan pertama pada 3 Syawal 545 H. Pertemuan terakhir pada hari Jumat, awal Rajab 546 H. Jumlah halamannya mencapai 90 halaman. Format buku ini mirip dengan format pengajian Syekh dalam berbagai majelisnya. Sebagiannya bahkan berisi jawaban atas persoalan yang muncul pada forum pengajian itu.
3.Futuh al-Ghayb merupakan kompilasi dari 78 artikel yang ditulis Syekh berkaitan dengan suluk, akhlak, dan yang lain. Tema dan gaya bahasanya sama dengan al-Fath al-Rabbani. Keseluruhan halamannya mencapai 212 halaman. Buku ini sendiri sebetulnya hanya 129 halaman. Sisa halamannya diisi dengan himpunan senandung pujian yang dinisbatkan pada Syekh. Ibn Taymiyah juga memuji buku ini.
Kesaksian Ulama
Syekh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syekh Abdul Qadir. Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syekh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika Syekh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata, “Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!”
Setelah ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan beliau itu. Kata Syekh Junaid al-Baghdadi, “Aku diberitahukan bahwa kelak akan lahir seorang wali besar, namanya adalah Abdul Qadir yang bergelar Muhyiddin. Dan pada saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia akan mengatakan, ‘Kakiku ada di atas pundak para Wali.”
Syekh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syekh Abdul Qadir. Ia adalah salah seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:
“Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah; 1) Syekh Ma’ruf al Karkhi, 2) Imam Ahmad ibn Hanbal, 3) Syekh Bisri al Hafi, 4) Syekh Mansur ibn Amar, 5) Syekh Junaid al-Baghdadi, 6) Syekh Siri as-Saqoti, 7) Syekh Abdullah at-Tustari, dan 8) Syekh Abdul Qadir Jailani.”
Ketika mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syekh Muhammad ash-Shanbaki bertanya, “Kami telah mendengar ke tujuh nama itu, tapi yang ke delapan kami belum mendengarnya. Siapakah Syekh Abdul Qadir Jailani?”
Maka Syekh Abu Bakar pun menjawab, “Abdul Qadir adalah shalihin yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad.”
Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad (1044-1132 H), dalam kitabnya Risalatul Mu’awanah menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih Syekh Abdul Qadir Jaylani sebagai suri-teladannya.
Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda. Pertama, ia tidak takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Kedua, hatinya tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu atau pun di saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi. Ketiga, hatinya tak pernah terganggu meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun.
Suatu ketika beliau sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba saja jatuh seekor ular berbisa yang sangat besar di atas tubuhnya sehingga membuat para hadirin menjadi panik. Ular itu membelit Syekh Abdul Qadir, lalu masuk ke lengan bajunya dan keluar lewat lengan baju yang lainnya. Sedangkan beliau tetap tenang dan tak gentar sedikit pun, bahkan beliau tak menghentikan ceramahnya. Ini membuktikan bahwa Syekh Abdul Qadir Jailani benar-benar seorang yang tawakkal dan memiliki karamah.
Ibnu Rajab juga berkata, “Syekh Abdul Qadir Al Jailani memiliki pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu makrifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang banyak berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang pada sunnah. “
Al-Dzahabi juga berkata, “Tidak ada seorangpun para ulama besar yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syekh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi.”
Wafat
Syekh wafat setelah menderita sakit ringan dalam waktu tidak lama. Bahkan, ada yang mengatakan, Syekh sakit hanya sehari—semalam. Ia wafat pada malam Sabtu, 10 Rabiul Awal 561 H. Saat itu usianya sudah menginjak 90 tahun. Sepanjang usianya dihabiskan untuk berbuat baik, mengajar, dan bertausiah.
Konon, ketika hendak menemui ajal, putranya yang bernama ‘Abdul Wahhab memintanya untuk berwasiat. Berikut isi wasiat itu:
“Bertakwalah kepada Allah. Taati Tuhanmu. Jangan takut dan jangan berharap pada selain Allah. Serahkan semua kebutuhanmu pada Allah Azza wa Jalla. Cari semua yang kamu butuhkan pada Allah. Jangan terlalu percaya pada selain Allah. Bergantunglah hanya pada Allah. Bertauhidlah! Bertauhidlah! Bertauhidlah! Semua itu ada pada tauhid.”
Demikian manaqib ini kami tulis, semoga membawa barokah, manfa,at, dan Ridho allah swt, syafa’at Rosululloh serta karomah Auliyaillah khushushon Syekh Abdul Qodir Jailani selalu terlimpahkan kepada kita, keluarga dan anak turun kita semua Dunia – Akhirat. Amien
Diambil dari berbagai sumber
*) Musyahadah : penyaksian langsung. Yang dimaksud ialah penyaksian akan segala kekuasaan dan keadilan Allah melalui mata hati.
**) Nadzir : pembawa ancaman atau pemberi peringatan. Salah satu tugas terpenting seorang Rasul adalah membawa beita, baik berita gembira maupun ancaman.

DO'A NURBUAT



Sebelum mengamalkan doa Nurbuat bertawassul terlebih dahulu kepada:

  • Ilaa hadlratin nabiyyil mustafaa shalallahu ‘ alaihi wassalam, Al Fatihah 1x


  • Tsumma ilaa hadlraati ikhwaanihii minal ambiyaa’i wal mursaliin wal auliyaa’i wasy syuhadaa’i wash shaalihiina wash shahaabti wattaabi’iina wal ulamaa’i ‘aamiliina wal mushannifiinal mukhlishiina wa jamii’il malaaikatil muqarrabiina, Al Fatihah 1x


  • Ila khusushan Syekh Majdudin Al-Karmani (Khodam Doa Nurbuat), Al Fatihah 1x


  • Ila khusushan Syekh Abdul Qadir Jailany, Syekh Qori, Syekh Madi, Syekh Somandari, Syekh Ahmad Al Falatil Bauni, Al Fatihah 1 x


  • Surah Al Ikhlas 3x


  • Surah Al Falaq 1x


  • Surah An Nash 1x


  • Shalawat Nabi 21x


  • Baru membaca Doa Nurbuathttp://kibayu.files.wordpress.com/2009/03/doa-nurbuah.jpg?w=594












Menurut keterangan yang disampaikan oleh Imam At Turmuzi Radhiyallahu ‘anhu bahwa :
Barangsiapa menilik atau memandang kepada “Khatamun Nubuwwah” sedang ia berwudhu’ pada waktu subuh, niscaya Allah akan memelihara akan dia hingga waktu petang. Dan barang siapa menilik kepadanya pada waktu maghrib maka terpelihara pula hingga ke pagi. Demikian juga barang siapa menilek kepadanya pada awal bulan niscaya Allah akan memelihara akan dia dari segala bala dan kecelakaan hingga akhir bulan itu. Selanjutnya barang siapa yang menileknya kepadanya sewaktu hendak berjalan (musafir) niscaya jadilah sepanjang perjalanannya itu barokah dan selamat. Barang siapa mati dalam tahun itu maka niscaya dimatikan Allah dalam keadaan beriman insya Allah Ta’ala, tetapi hendaklah yakin sepenuh hati kepada Allah S.W.T. dan sekurang-kurangnya berselawat keatas Junjungan Besar Rasullulah, Nabi Muhammad S.A.W sebanyak 33 kali atau 313 kali sehari agar mendapat kerahmatan, keberkatan, keredhaan, hidayah, pimpinan, petunjuk dan kasih sayang Allah S.W.T Insya Allah.



“Bismillaahir rohmaanir rohiim. Allahumma dzisshulthanil azhiim. Wa dzil mannil qadim wa dzil wajhil kariim wa waliyyil kalimaatit tammaati wad da’awaati mustajaabati ‘aaqilil hasani wal husaini min anfusil haqqi ‘ainil qudrati wannaazhirinna wa ‘ainil insi wal jinni wa in yakadul ladziinna kafaruu la yuzliquunaka bi-abshaarihim lamma sami’udz dzikra wa yaquuluuna innahu lamajnuun wa maa huwa illa dzikrul lil ‘aalamiina wa mustajaabu luqmanal hakiimi. wa waritsa sulaimaanu daawuda ‘alaihimas salaamu al waduudu dzul ‘arsyil majiidi thawwil ‘umrii wa shahhih ajsadii waqdhi haajatii wa aktsir amwaalii wa aulaadii wa habbib linnaasi ajma’in Watabaa ‘adil ‘adaa wata kullahaa min banii aadama ‘alaihis salaamu man kaana hayya wa yahiqqal qaulu ‘alalkaafiriina waqul jaa al haqqu wa zahaqalbaathilu innal baathila kaana zahuuqaa. Wa nunazzilu minal qur’aani maa huwa syifaa-uw wa rahmatul lil mu’miniina. Wa laa yaziidu zhaalimiina illaa khosaaron. Subhaana rabbika rabbil ‘izzati ‘ammmaa yashifuuna wa salaamun ‘alal murshaliina wal hamdu lillahi rabbil ‘aalamiin.”

TERJEMAHAN MELAYU
“Ya Allah, Zat Yang memiliki kekuasaan yang agung, yang memiliki anugerah yang terdahulu, memiliki wajah yang mulia, menguasai kalimat-kalimat yang sempurna, dan doa-doa yang mustajab, penanggung Hasan dan Husain dari jiwa-jiwa yang haq, dari pandangan mata yang memandang, dari pandangan mata manusia dan jin. Dan sesungguhnya orang-orang kafir benar-benar akan menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, ketika mereka mendengar Al-Quran dan mereka berkata: “Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila, dan Tiadalah itu semua melainkan sebagai peringatan bagi seluruh alam. Allah yang mengabulkan do’a luqmanul hakim dan mewariskan sulaiman bin daud a.s. Allah adalah Zat Yang Maha Pengasih lagi memiliki singgasana yang Mulia, panjangkanlah umurku, sehatlah jasad tubuhku , kabulkan hajatku, perbanyakkanlah harta bendaku dan anakku, cintakanlah semua manusia dan jauhkanlah permusuhan dari anak cucu Nabi Adam a.s., orang-orang yang masih hidup dan semoga tetap ancaman siksa bagi orang-orang kafir. Dan katakanlah : “Yang haq telah datang dan yang batil telah musnah, sesungguhnya perkara yang batil itu pasti musnah”. Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Quran tidak akan menambah kepada orang-orang yang berbuat aniaya melainkan hanya kerugian. Maha Suci Allah Tuhanmu Tuhan Yang Maha Mulia dari sifat-sifat yang di berikan oleh orang-orang kafir. Dan semoga keselamatan bagi para Rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam.”
Selain daripada doa nurun nubuwwah ia juga di kenali sebagai; doa nurbuwat atau doa nurbuat juga doa nurbuah dan doa nurbuwah, bergantung pada loghat mengikut suku kaum baik di Malaysia maupun di Indonesia. Doa Nurun Nubuwwah di katakan memiliki khasiat yang banyak sekali dan sangat menakjubkan terhadap siapa yang suka membaca dan mengamalkannya dengan ikhlas hati benar-benar kerana Allah. Dan di antara khasiat –khasiatnya adalah seperti berikut;


Abul Qasim Al-Junaid Al-Baghdadi

Abul Qasim Al-Junaid Al-Baghdadi

Junaid Al-Baghdadi (maqamnya gambar di sebelah) adalah seorang ulama sufi dan wali Allah yang paling menonjol namanya di kalangan ahli-ahli sufi. Tahun kelahiran Imam Junaid tidak dapat dipastikan. Tidak banyak dapat ditemui tahun kelahiran beliau pada biografi lainnya. Beliau adalah orang yang terawal menyusun dan memperbahaskan tentang ilmu tasauf dengan ijtihadnya. Banyak kitab-kitab yang menerangkan tentang ilmu tasawuf berdasarkan kepada ijtihad Imam Junaid Al-Baghdadi. 

Imam Junaid adalah seorang ahli perniagaan yang berjaya. Beliau memiliki sebuah gedung perniagaan di kota Baghdad yang ramai pelanggannya. Sebagai seorang guru sufi, beliau tidaklah disibukkan dengan menguruskan perniagaannya sebagaimana setengah peniaga lain yang kaya raya di Baghdad.

Waktu perniagaannya sering disingkatkan seketika kerana lebih mengutamakan pengajian anak-anak muridnya yang dahagakan ilmu pengetahuan. Apa yang mengkagumkan ialah Imam Junaid akan menutup kedainya setelah selesai mengajar murid-muridnya. Kemudian beliau balik ke rumah untuk beribadat seperti solat, membaca al-Quran dan berzikir.

Setiap malam beliau berada di masjid besar Baghdad untuk menyampaikan kuliahnya. Ramai penduduk Baghdad datang masjid untuk mendengar kuliahnya sehingga penuh sesak.

Imam Junaid hidup dalam keadaan zuhud. Beliau redha dan bersyukur kepada Allah SWT dengan segala nikmat yang dikurniakan kepadanya. Beliau tidak pernah berangan-angan untuk mencari kekayaan duniawi dari sumber pekerjaannya sebagai peniaga.

Beliau akan membahagi-bahagikan sebahagian dari keuntungan perniagaannya kepada golongan fakir miskin, peminta dan orang-orang tua yang lemah.

Abul Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz an-Nihawandi adalah putera seorang pedagang barang pecah belah dan keponakan dari Sari as-Saqathi. Beliau adalah teman akrab al-Muhasibi yang merupakan penyebar besar aliran “warans” sufisme. Beliau telah mengembangkan sebuah doktrin theosofi yang mempengaruhi keseluruhan mitisisme ortodoks Islam. Teorinya yang dijelaskannya secara terperinci dalam ajaran-ajarannya dan dalam surat-suratnya kepada tokoh-tokoh semasanya masih dapat kita temukan hingga saat ini. Beliau meninggal pada tahun 258 H/910M di Baghdad, sebagai ketua dari sebuan aliran yang besar dan berpengaruh luas.


MASA REMAJA JUNAID AL-BAGHDADI

Sejak kecil Junaid sudah merasakan kegelisahan spiritual. Ia adalah pencari Allah yang tekun, penuh disiplin, bijaksana, cerdas dan mempunyai intuisi yang tajam. Pada suatu hari ketika kembali dari sekolah, Junaid mendapatkan ayahnya sedang menangis.
“Apakah yang terjadi?”,tanya Junaid kepada ayahnya.
“Aku ingin memberi sedekah kepada pamanmu, Sari, tetapi ia tidak mau menerimanya”, ayahnya menjelaskan. ”Aku menangis karena seumur hidupku baru sekarang inilah aku dapat mengumpulkan uang lima dirham, tetapi ternyata pemberianku tidak pantas diterima oleh salah seorang sahabat Allah”.
“Berikanlah uang itu kepadaku, biar aku yang akan memberikannya kepada paman. Dengan cara ini tentu ia mau menerimanya”, Junaid berkata.
Uang lima dirham itu diserahkan ayahnya dan berangkatlah Junaid ke rumah pamannya. Sesampainya di tujuan, ia mengetuk pintu.
“Siapakah itu?”, terdengar sahutan dari dalam
“Junaid”, jawabnya. "Bukalah pintu dan terimalah sedekah yang sudah menjadi hakmu ini”.
“Aku tidak mau menerimanya”, Sari menyahut.
“Demi Allah yang telah sedemikian baiknya kepadamu dan sedemikian adilnya kepada ayahku, aku meminta kepadamu, terimalah sedekah ini”, Junaid berseru.
“Junaid, bagaimanakah Allah telah sedemikian baiknya kepadaku dan sedemikian adilnya kepada ayahmu?” Sari bertanya.
“Allah berbuat baik kepadamu”, jawab Junaid , “Karena telah memberikan kemiskinan kepadamu. Allah berbuat adil kepada ayahku karena telah membuatnya sibuk dengan urusan-urusan dunia. Engkau bebas menerima atau menolak sedekah, tetapi ayahku, baik secara rela maupun tidak, harus mengantarkan sebagian harta kekayaannya kepada yang berhak menerimanya”.
Sari sangat senang mendengar jawaban itu.
“Nak, sebelum menerima sedekah itu, aku telah menerima dirimu”.
Sambil berkata demikian Sari membukakan pintu dan menerima sedekah itu. Untuk Junaid disediakannya tempat yang khusus di dalam lubuk hatinya.

ooo

Junaid baru berumur tujuh tahun ketika Sari membawanya ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Di Masjidil Haram, empat ratus syeikh sedang membahas sikap syukur. Setiap orang di antara mereka mengemukakan pendapatnya masing-masing.
“Kemukakan pula pendapatmu”, Sari mendorong Junaid. Maka berkatalah Junaid,.
“Kesyukuran berarti tidak mengingkari Allah dengan karunia yang telah dilimpahkan-Nya atau membuat karunia-Nya itu sebagai sumber keingkaran”.
“Tepat sekali, wahai pelipur hati Muslim-muslim sejati”, keempat ratus syeikh tersebut berseru. Semuanya sependapat bahwa definisi kesyukuran yang dikemukakan Junaid itulah yang paling tepat.
Sari berkata kepada Junaid,
“Nak, tidak lama lagi akan kenyataanlah bahwa karunia yang istimewa dari Allah kepadamu adalah lidahmu”.
Junaid tidak sanggup menahan tangisnya ketika mendengar kata-kata pamannya itu.
“Bagaimanakah engkau memperoleh semua pengetahuan ini?”, Sari bertanya padanya.
“Dengan duduk mendengarkanmu”, jawab Junaid.
Junaid lalu kembali ke Baghdad dan berdagang barang pecah belah. Setiap hari ia menurunkan tirai tokonya dan melakukan shalat sunnat sebanyak empat ratus raka’at. Belakangan hari, usaha itu ditinggalkannya dan ia mengunci diri dalam sebuah kamar di rumah Sari. Di dalam kamar itulah ia menyibukkan diri untuk menyempurnakan bathinnya, Dan di situ pula ia membentangkan sajadah ketekunan sehingga tidak sesuatu hal pun selain Allah yang terpikirkannya.

JUNAID DIUJI

Selama empat puluh tahun Junaid menekuni kehidupan mistiknya. Tiga puluh tahun lamanya, setiap selesai shalat Isa ia berdiri dan mengucapkan “Allah, Allah” terus menerus hingga fajar, dan melakukan shalat Shubuh tanpa perlu berwudhu’ lagi.
“Setelah empat puluh tahun berlalu, Junaid berkisah, “Timbullah kesombongan di dalam hatiku, aku mengira bahwa tujuanku telah tercapai. Segeralah terdengar olehku suara dari langit yang menyeru kepadaku: ’Junaid, telah tiba saatnya bagi-Ku untuk menunjukkan kepadamu sabuk pinggang Majusimu. Mendengar seruan itu aku mengeluh: ’Ya Allah, dosa apakah yang telah dilakukan Junaid?’ Suara itu menjawab: ’Apakah engkau hidup untuk melakukan dosa yang lebih besar daripada itu?”
Junaid mengeluh menundukkan kepalanya.
“Apabila manusia belum patuh untuk menemui Tuhannya”, bisik junaid, “Maka segala amal baiknya adalah dosa semata”.
Junaid lalu terus berdiam di dalam kamarnya dan terus menerus mengucapkan “Allah, Allah” sepanjang malam. Tetapi lidah fitnah menyerang dirinya dan tingkah lakunya ini dilaporkan orang kepada khalifah.
“Kita tidak dapat berbuat apa-apa kepada Junaid bila kita tak mempunyai bukti” jawab Khalifah.
Kebetulan sekali-khalifah mempunyai seorang hamba perempuan berwajah sangat cantik. Gadis ini telah dibelinya seharga tiga ribu dinar dan sangat disayanginya. Khalifah memerintahkan agar hamba perempuannya itu dipakaikan dengan pakaian yang gemerlapan dan didandani dengan batu-batu permata yang mahal.
“Pergilah ke tempat Junaid”, khalifah memerintahkan hamba perempuannya, “Berdirilah di depannya, buka cadar dan perlihatkan wajahmu, permainkan batu-batu permata dan pakaianmu untuknya. Setelah itu katakanlah kepada Junaid: ’Aku kaya raya tetapi aku sudah jemu dengan urusan-urusan dunia. ’Aku datang kemari agar engkau mau melamar diriku, sehingga bersamamu aku dapat mengabdikan diri untuk berbakti kepada Allah. Hatiku tidak berkenan kepada siapa pun kecuali kepadamu! Kemudian perlihatkan tubuhmu kepadanya. Bukalah pakaianmu dan godalah ia dengan segenap daya upayamu”.
Ditemani seorang pelayan ia diantar ke tempat Junaid. Si gadis menemui Junaid dan melakukan segala daya upaya yang bahkan melebihi dari apa yang diperintahkan kepadanya. Tanpa disengaja ia terpandang oleh Junaid. Junaid membisu dan tak memberi jawaban.  Si gadis mengulangi daya upayanya dan Junaid yang selama itu tertunduk mengangkat kepalanya.
“Ah!”, serunya sambil meniupkan nafasnya ke arah si gadis. Si gadis terjatuh dan seketika itu juga menemui ajalnya.
Pelayan yang menemaninya kembali ke hadapan khalifah dan menyampaikan segala kejadian itu. Api penyesalan menyesak dada khalifah dan ia memohonkan ampunan Allah karena perbuatannya itu.
“Seseorang yang memperlakukan orang lain seperti yang tak sepatutnya akan menyaksikan hal yang tak patut untuk disaksikannya”, khalifah berkata.
Khalifah bangkit dan berangkatlah ia untuk mengunjungi Junaid, “Manusia seperti Junaid tidak dapat dipanggil untuk
menghadapinya”, ia berkata.
Setelah bertemu dengan Junaid khalifah bertanya:
“Wahai guru, bagaimanakah engkau sampai hati membinasakan tubuh gadis yang sedemikian eloknya?”
“Wahai pangeran kaum Muslim”, Junaid menjawab, “belas kasihmu kepada orang-orang yang mentaatimu sedemikian besarnya, sehingga engkau sampai hati untuk menginginkan jerih payahku selama empat puluh tahun mendisiplinkan diri, bertirakat, menyangkal diri, musnah diterbangkan angin. Tetapi apakah artinya diriku di dalam semua itu? janganlah engkau lakukan sesuatu hal kepada orang lain apabila engkau sendiri tidak menginginkannya!”
Setelah peristiwa itu nama Junaid menjadi harum. Kemasyhuran terdengar ke seluruh penjuru dunia. Betapa pun besarnya fitnah yang dilontarkan kepada dirinya, reputasinya berlipat ganda seribu kali. Junaid mulai memberikan khotbah-khotbah. Ia pernah menindaskan: “Aku tidak berkhotbah di depan umum sebelum tiga puluh manusia suci menunjukkan kepadaku bahwa telah tiba saatnya aku menyeru ummat manusia kepada Allah”.
“Selama tiga puluh tahun aku mengawasi bathinku”, Junaid mengatakan, “Setelah itu selama sepuluh tahun bathinku mengawasi diriku. Pada saat ini telah dua puluh tahun lamanya aku tidak mengetahui sesuatu pun mengenai bathinku dan bathinku tidak mengetahui sesuatu pun mengenai diriku”,
“Selama tiga tahun”, Junaid melanjutkan, “Allah telah berkata-kata dengan Junaid melalui lidah Junaid sendiri, sedang Junaid tidak ada dan orang-orang lain tidak menyadari hal itu”.

JUNAID BERKHOTBAH

Ketika lidah Junaid telah fasih mengucapkan kata-kata mulia, Sari as-Saqathi mendesak bahwa Junaid berkewajiban untuk berkhotbah di depan umum. Mula-mula Junaid enggan; ia tidak ingin melakukan hal itu.
“Apabila guru masih ada, tidaklah pantas bagi si murid untuk berkhotbah”, Junaid berkilah.
Kemudian pada suatu malam Junaid bermimpi dan dalam mimpi tersebut ia bertemu dengan Nabi saw.
“Berkhotbahlah!”, Nabi berkata kepadanya.
Keesokan paginya ia hendak pergi mengabarkan hal itu kepada Sari tetapi ternyata Sari sudah berdiri di depan pintu rumahnya.
“Sebelumnya engkau selalu merasa enggan, dan menantikan agar orang-orang mendesakmu untuk berkhotbah. Tetapi mulai saat ini engkau harus berkhotbah karena kata-katamu dijadikan sebagai alat bagi keselamatan seluruh dunia. Engkau tak mau berkhotbah ketika dimohonkan murid-muridmu, engkau tak mau ketika diminta oleh para syeikh di kota Baghdad. Dan engkau tak mau berkhotbah ketika kudesak. Tetapi kini Nabi sendirilah yang memberi perintah kepadamu, oleh karena itu engkau harus mau berkhotbah”.
”Semoga Allah mengampuni diriku”, jawab Junaid. “Tetapi bagaimanakah engkau bisa mengetahui bahwa aku telah berjumpa dengan Nabi dalam mimpiku?”
“Aku bertemu dengan Allah dalam mimpi”, jawab Sari, “dan Dia berkata kepadaku: ’Telah Kuutus rasul·ku untuk menyuruh Junaid berkhotbah di atas mimbar”’.
“Aku mau berkhotbah”, Junaid menyerah, “tetapi dengan satu syarat bahwa yang mendengarkan khotbah-khotbahku tidak
lebih dari empat puluh orang”.
Pada suatu hari Junaid berkhotbah. Jumlah pendengar hanya empat puluh orang. Delapan belas orang di antaranya menemui ajal mereka sedang sisanya yang berjumlah dua puluh dua orang jatuh pingsan dan harus digotong ke rumahnya masing-masing.
Di dalam kesempatan lain Junaid berkhotbah di dalam masjid besar. Di antara jamaahnya ada seorang pemuda Kristen tetapi tak seorang pun yang mengetahui bahwa ia beragama Kristen. Si pemuda menghampiri Junaid dan berkata: “Nabi pernah berkata: ’Berhati-hatilah dengan wawasan seseorang yang beriman karena ia dapat melihat dengan nur Allah’. Apakah maksudnya?”
“Yang dimaksudkannya adalah”, Junaid menjawab, “bahwa engkau harus menjadi seorang Muslim dan melepaskan sabuk kekristenanmu itu karena sekarang ini adalah zaman Islam”.
Si pemuda segera memeluk Islam setelah mendengar jawaban Junaid tersebut.

ooo

Setelah berkhotbah beberapa kali, orang-orang menentang Junaid. Junaid menghentikan khotbahnya dan mengurung diri di dalam kamarnya. Betapapun ia didesak untuk berkhotbah kembali, ia tetap menolak.
“Aku sudah cukup puas”, jawab Junaid, “Aku tidak mau merancang kehancuran diriku sendiri”..
Tetapi beberapa lama kemudian tanpa diduga-duga Junaid naik ke atas mimbar dan mulai berkhotbah.
“Apakah kebijaksanaan yang terkandung di dalam perbuatanmu ini?”,seseorang bertanya kepadanya.
Junaid menjawab: “Aku teringat sebuah hadits di mana Nabi berkata: ’Di hari-hari terakhir nanti yang menjadi juru bicara diantara ummat manusia adalah yang paling bodoh di antara mereka. Dialah yang akan berkhotbah kepada ummat manusia’. Aku menyadari bahwa aku adalah yang terbodoh di antara ummat manusia dan aku berkhotbah karena kata Nabi itu, aku takkan menentang kata-katanya itu”.

ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI JUNAID

Pada suatu ketika mata Junaid sakit dan dipanggilnyalah seorang tabib.
“Jika matamu terasa perih, jangan biarkan air masuk ke dalam matamu”, si tabib menasehatkan.
Ketika tabib itu telah pergi, Junaid bersuci, shalat dan setelah itu pergi tidur. Ketika terbangun ternyata matanya telah sembuh dan terdengarlah oleh sebuah seruan: “Junaid bersedia mengorbankan matanya demi nikmat Kami. Seandainya untuk tujuan yang sama ia telah memohonkan ampunan Kami untuk semua penghuni neraka, niscaya permohonannya itu akan Kami kabulkan”.
Ketika si tabib datang dan menyaksikan bahwa mata Junaid telah sembuh,
“Apakah yang telah kau lakukan?”, ia bertanya.
“Aku bersuci untuk shalat”, jawab junaid.
Mendengar jawaban ini si tabib yang beragama Kristen itu segera masuk Islam.
“Inilah kesembuhan dari Sang Pencipta, bukan dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya”, katanya kepada Junaid, “Matakulah yang selama ini sakit, bukan matamu. Engkaulah yang sebenarnya seorang tabib, bukan aku”.

ooo

Junaid mengisahkan: Pada suatu ketika aku ingin melihat Iblis. Aku berdiri di pintu masjid dan dari kejauhan terlihatlah olehku seorang tua yang sedang berjalan ke arahku. Begitu aku memandangnya, rasa ngeri mencekam perasaanku.
“Siapakah engkau ini?” aku bertanya kepadanya.
“Yang engkau inginkan”, jawabnya.
“Wahai makhluk yang terkutuk”, aku berseru, ”Apakah yang menyebabkan engkau tidak mau bersujud kepada Adam?”
“Bagaimanakah pendapatmu Junaid?”, Iblis menjawab, ’Jika aku bersujud kepada yang lain daripada-Nya?”
Junaid mengisahkan, betapa ia menjadi bingung karena jawaban Iblis itu.
Dari dalam lubuk hatiku terdengarlah sebuah seruan, “Katakan, engkau adalah pendusta. Seandainya engkau adalah seorang hamba yang setia niscaya engkau mentaati perintah-Nya”.
Ketika Iblis mendengar kata-kata ini, ia meraung nyaring. “Demi Allah Junaid, engkau telah membinasakan aku!” Dan setelah itu ia pun hilang.

ooo

Pada masa sekarang ini semakin sedikit dan sulit ditemukan saudara-saudara seagama”, seseorang berkata di depan Junaid. Junaid membalas: “Jika engkau menghendaki seseorang untuk memikul bebanmu, maka orang-orang seperti itu memang sulit dan sedikit dijumpai. Tetapi jika engkau menghendaki seseorang untuk ikut memikul bebannya, maka orang seperti itu banyak sekali padaku”.

ooo

Bila Junaid berkhotbah mengenai keesaan Allah, ia sering membahasnya dari sudut-sudut pandangan yang berbeda sehingga tak seorang pun dapat memahaminya. Pada suatu hari Syibli yang berada di antara pendengar-pendengar mengucapkan: “Allah, Allah!”
Mendengar ucapan itu Junaid berkata: “Apabila Allah itu tidak ada, maka menyebutkan sesuatu yang tidak ada adalah suatu pertanda dari ketiadaan, dan ketiadaan adalah sesuatu hal yang diharamkan. Apabila Allah itu ada, maka menyebut nama-Nya sambil merenungi-Nya sebagai ada adalah suatu pertanda tidak menghargai”.

ooo

Seseorang membawa uang lima ratus dinar dan memberikan uang itu kepada Junaid.
“Adakah yang masih engkau miliki selain daripada ini?”, Junaid bertanya kepadanya.
“Ya, banyak!”, jawab orang itu.
“Apakah engkau masih ingin mempunyai uang yang lebih banyak lagi?”
“Ya”.
”Kalau begitu ambillah uang ini kembali, engkau lebih berhak untuk memilikinya. Aku tidak memiliki sesuatu pun tapi aku tak menginginkan sesuatu pun”.

ooo

Ketika Junaid sedang berkhotbah, salah seorang pendengarnya bangkit dan mulai mengemis.
“Orang ini cukup sehat”, Junaid berkata di dalam hati. “Ia dapat mencari nafkah. Tetapi mengapa ia mengemis dan menghinakan dirinya seperti ini?”
Malam itu Junaid bermimpi, di depannya tersaji makanan yang tertutup tudung.
”Makanlah!”, sebuah suara memerintah Junaid.
Ketika Junaid mengangkat tudung itu, terlihatlah olehnya si pengemis terkapar mati di atas piring.
“Aku tidak mau memakan daging manusia”, Junaid menolak.
”Tetapi bukankah itu yang engkau lakukan kemarin ketika berada di dalam masjid?”
Junaid segera menyadari bahwa ia bersalah karena telah berbuat fitnah di dalam hatinya dan oleh karena itu ia dihukum.
“Aku tersentak dalam keadaan takut”, Junaid mengisahkan.
“Aku segera bersuci dan melakukan shalat sunnat dua rakaat.
Setelah itu aku pergi keluar mencari si pengemis. Kudapatkan ia sedang berada di tepi sungai Tigris. Ia sedang memunguti sisa-sisa sayuran yang dicuci di situ dan memakannya. Si pengemis mengangkat kepala dan terlihatlah olehnya aku yang sedang menghampirinya. Maka bertanyalah ia kepadaku: ’Junaid, sudahkah engkau bertaubat karena telah bersangka buruk terhadapku?’ Sudah’, jawabku. ’Jika demikian pergilah dari sini. Dia-lah Yang Menerima taubat hamba-hamba-Nya. Dan jagalah pikiranmu’ “.


“Aku telah mendapat pelajaran mengenai keyakinan yang tulus dari seorang tukang cukur”, Junaid merenungi dan setelah itu ia pun berkisah sebagai berikut;
Suatu ketika sewaktu aku berada di Mekkah, kulihat seorang tukang cukur sedang menggunting rambut seseorang. Aku berkata kepadanya: “Jika karena Allah, bersediakah engkau mencukur rambutku?”
“Aku bersedia”, jawab si tukang cukur. Ia segera menghentikan pekerjaanya dan berkata kepada langganannya itu: “Berdirilah, apabila nama Allah diucapkan, hal-hal yang lain harus ditunda”.
Ia menyuruhku duduk. Diciumnya kepalaku dan dicukurnya rambutku.  Setelah selesai ia memberikan kepadaku segumpal kertas yang berisi beberapa keping mata uang.
“Gunakanlah uang ini untuk keperluanmu”, katanya kepadaku.
Aku pun lalu bertekad bahwa hadiah yang pertama sekali kuperoleh sejak saat itu akan kuserahkan kepada si tukang cukur tersebut.Tak lama kemudian aku menerima sekantong uang emas dari Bashrah. Uang ini kuberikan kepada tukang cukur itu.
“Apakah ini?” ia bertanya kepadaku.
“Aku telah bertekad”, aku menjelaskan. “Hadiah yang pertama sekali kuperoleh akan kuberikan kepadamu. Uang itu baru saja kuterima”.
Tetapi si cukang cukur menjawab:
“Tidakkah engkau malu kepada Allah? Engkau telah mengatakan kepadaku: ’Demi Allah cukurlah rambutku’, tetapi kemudian engkau memberi hadiah kepadaku. Pernahkah engkau menjumpai seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan demi Allah dan meminta bayaran?”.

ooo

Seorang pencuri telah dihukum gantung di kota Baghdad. Junaid datang dan mencium kakinya.
“Mengapa engkau berbuat demikian?”, orang-orang bertanya kepada junaid.
“Semoga seribu belas kasih Allah dilimpahkan-Nya kepadanya”, jawab junaid. “Ia telah membuktikan bahwa dirinya setia didalam usahanya. Sedemikian sempurna ia melakukan pekerjaannya sehingga untuk itu direlakannya hidupnya”.

ooo

Pada suatu malam seorang pencuri menyusup masuk ke rumah dan masuk ke kamar Junaid. Tak sesuatu pun yang ditemukannya kecuali sehelai pakaian. Pakaian itu diambilnya, setelah itu ia pergi meninggalkan rumah Junaid. Keesokan harinya ketika Junaid sedang berjalan-jalan di dalam pasar, dilihatnya pakaiannya itu di tangan seorang pedagang perantara yang sedang menawarkannya kepada seorang pembeli.
Calon pembeli itu berkata,
”Sebelum kubeli pakaian ini aku meminta seseorang yang sanggup memberi kesaksian bahwa pakaian itu memang kepunyaanmu”.
“Akulah yang akan memberi kesaksian bahwa pakaian itu adalah miliknya”. Junaid berkata sambil menghampiri mereka.
Maka pakaian itu pun terjuallah.

ooo

Seorang perempuan tua datang menghadap Junaid dan bermohon, “Puteraku pergi entah ke mana Doakanlah agar ia kembali”.
“Bersabarlah”, Junaid menasehati perempuan tua itu.
Dengan sabar perempuan tua itu menanti beberapa hari lamanya. Kemudian ia kembali kepada Junaid.
“Bersabarlah”, Junaid mengulangi nasehatnya.
Kejadian seperti ini telah beberapa kali berulang, Akhirnya wanita tua itu datang dan berkata lantang, “Aku sudah tak dapat bersabar lebih lama lagi. Doakanlah kepada Allah!”
Junaid menjawab: “Jika engkau berkata dengan sebenarnya, puteramu tentu telah kembali. Allah berkata: Dia-lah yang akan menjawab orang yang berduka apabila orang itu menyeru kepada-Nya”.
Setelah itu Junaid berdoa kepada Allah. Ketika perempuan itu sampai di rumahnya ternyata anaknya telah berada di sana.

ooo

Seorang murid mengira bahwa dirinya telah mencapai derajat kesempurnaan.
“Oleh karena itu lebih baik aku menyendiri”, ia berkata di dalam hatinya.
Maka pergilah ia mengasingkan diri di suatu tempat dan untuk beberapa lamanya berdiam di sana. Setiap malam beberapa orang yang membawa seekor unta datang kepadanya dan berkata: “Kami akan mengantarmu ke surga”. Maka naiklah ia ke atas punggung unta itu dan mereka pun berangkat ke suatu tempat yang indah dan nyaman, penuh dengan manusia-manusia gagah dan tampan, dimana banyak terdapat makanan-makanan lezat dan anak-anak sungai. Di tempat itu ia tinggal hingga fajar, kemudian ia jatuh tertidur dan ketika terjaga ternyata ia berada di kamarnya sendiri kembali. Karena pengalaman ini, ia menjadi bangga dan angkuh.
“Setiap malam aku diantarkan ke surga”, ia membanggakan dirinya.
Kata-katanya ini terdangar oleh Junaid. Junaid segara bangkit dan datang ke tempat di mana ia mendapatkan muridnya itu sedang berlagak dengan sangat angkuhnya. Junaid bertanya apakah yang telah dialaminya dan si murid mengisahkan seluruh pengalamannya itu kepada syeikh..
“Malam nanti apabila engkau diantarkan ke sana”, Junaid berkata kepada muridnya itu, ”ucapkanlah: “Tiada kekuasaan dan kekuatan kecuali pada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar. “.
Malam itu,seperti biasanya si murid diantarkan pula ka tempat ‘tersebut’. Dalam hatinya ia tidak yakin terhadap perkataan Syeikh Junaid, tetapi ketika sampai di tempat itu, sekadar sebagai percobaan ia mengucapkan: “Tiada kekuasaan dan kekuatan …. “
Sesaat itu pula orang-orang yang berada di tempat itu meraung-raung dan melarikan diri.
Kemudian terlihatlah olehnya bahwa tempat itu hanyalah tempat pembuangan sampah sedang dihadapannya berserakan tulang-tulang binatang. Setelah menyadari kekeliruannya itu, si murid bertaubat dan bergabung dengan murid-murid Junaid yang lain. Tahulah ia bahwa menyendiri bagi seorang murid adalah bagaikan racun yang mematikan.

ooo

Salah seorang murid Junaid menyendiri di sebuah tempat yang terpencil di kota Bashrah. Suatu malam, sebuah pikiran buruk terlintas di dalam hatinya. Ketika ia memandang ke dalam cermin terlihatlah olehnya betapa wajahnya telah berubah hitam. Ia sangat terperanjat. Segala daya upaya dilakukan untuk membersihkan wajahnya tetapi sia-sia. Sedemikian malunya dia sehingga tidak berani menunjukkan mukanya kepada siapa pun. Setelah tiga hari berlalu, barulah kehitaman wajahnya kembali normal sedikit demi sedikit.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya.
”Siapakah itu”, ia bertanya. ·
“Aku datang untuk mengantar surat dari Junaid”, sebuah sahutan dari luar.
Si murid membaca surat Junaid.
“Mengapa tidak engkau jaga tingkah lakumu di hadapan Yang Maha Besar. Telah tiga hari tiga malam aku bekerja sebagai seorang tukang celup untuk memutihkan kembali wajahmu yang hitam itu”.

ooo

Suatu hari, salah seorang murid Junaid melakukan satu kesalahan kecil. Karena malu ia melarikan diri dan tidak mau pulang. Beberapa hari kemudian, ketika berjalan-jalan dengan sahabat-sahabat di dalam pasar, tiba-tiba terlihatlah oleh Junaid muridnya itu. Si murid lari karena malu.
“Seekor burung kita terlepas dari sangkar”, Junaid berseru kepada sahabat-sahabatnya dan mengejar si murid.
Ketika menoleh ke belakang, si murid melihat bahwa syeikh membuntutinya. Maka ia pun mempercepat larinya.’Akhirnya ia bertemu jalan buntu, karena malu ia tetap menghadapkan mukanya ke tembok. Tak lama kemudian si syeikh telah berada di tempat itu.
“Hendak kemanakah engkau guru?”, si murid bertanya kepada Junaid.
“Apabila seseorang membentur dinding, seorang syeikh dapat memberikan bantuannya”, jawab junaid
Murid itu dibawanya pulang ke Tekkia. Sesampainya di sana si murid menjatuhkan dirinya di depan kaki sang guru dan memohon ampun kepada Allah. Semua yang menyaksikan pemandangan ini tergugah hatinya, banyak di antara mereka yang ikut bertaubat.

ooo

Syeikh Junaid mempunyai seorang murid yang dicintainya melebihi muridnya yang lain. Murid-murid lain merasa iri, hal ini disadari oleh syeikh melalui intuisi mistiknya.
“Sesungguhnya ia melebihi kalian di dalam tingkah laku dan tingkat pemahamannya”, Junaid menjelaskan kepada mereka.
“Begitulah menurut pandanganku. Tetapi marilah kita membuat sebuah percobaan agar kalian semua menyadari hal itu”.
Kemudian Junaid memerintahkan agar dua puluh ekor burung dibawakan ke padanya.
“Ambil burung-burung ini oleh kalian, seekor seorang”, Junaid berkata kepada murid-muridnya. “Bawalah burung itu ke suatu tempat yang tak terlihat oleh siapa pun juga, kemudian bunuhlah. Setelah itu bawalah kembali ke sini”.
Setiap murid pergi dengan membawa seekor burung, membunuh burung itu dan membawa bangkainya kembali, kecuali murid kesayangan Junaid itu. Ia pulang dengan membawa seekor burung yang masih hidup.
“Mengapa tak kau bunuh burungmu itu?”, Junaid bertanya kepadanya.
“Karena guru mengatakan hal itu harus dilakukan di suatu tempat yang tidak dapat dilihat oleh siapa pun juga”, jawab si murid.
“Dan ke mana pun aku pergi, Allah senantiasa menyaksikannya”. “Kalian saksikanlah tingkat pemahamannya!”, Junaid berkata kepada seluruh muridnya. “Bandingkanlah dengan yang lain-lainnya”.
Semua murid Junaid segera mohon ampunan Allah.

ooo

Junaid mempunyai delapan orang murid istimewa yang melaksanakan setiap buah pikirannya. Pada suatu hari, terpikirkan oleh mereka bahwa mereka harus terjun ke perang suci. Keesokan paginya Junaid menyuruh pelayannya mempersiapkan perlengkapan perang. Beserta kedelapan orang murid tersebut ia lalu berangkat ke medan perang.
Ketika kedua belah pihak yang bertempur saling berhadapan. tampillah seorang satria perkasa dari pasukan kafir itu, lantas dibinasakannya kedelapan murid Junaid.
“Aku menengadah ke atas langit”, Junaid mengisahkan, “dan di sana terlihat olehku sembilan buah usungan. Roh masing-masing dari kedelapan muridku yang syahid itu diangkat ke sebuah usungan jadi masih ada satu usungan yang kosong. ’Usungan yang masih kosong itu tentulah untukku’, aku berpikir dan karena itu akupun mencebur kembali ke dalam kancah pertempuran. Tetapi satria perkasa yang telah membunuh kedelapan sahabatku itu tampil dan berkata: ’Abul Qasim, usungan yang kesembilan itu adalah untukku. Kembalilah ke Baghdad dan jadilah seorang syeikh untuk kaum Muslimin. Dan bawalah aku ke dalam IsIam”.
“Maka jadilah ia seorang Muslim. Dengan pedang yang telah digunakannya untuk membunuh kedelapan muridku itu ia pun berbalik membunuh orang-orang kafir dalam jumlah yang sama. Kemudian ia sendiri terbunuh sebagai seorang syuhada. Rohnya”, Junaid mengakhiri kisahnya, “ditaruh ke atas usungan yang masih kosong tadi. Kemudian kesembilan usungan itu menghilang tidak terlihat Iagi”.

ooo

Seorang sayyid bernama Nasiri, sedang melakukan perjalanan ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Ketika sampai di Baghdad ia pun pergi mengunjungi Junaid.
“Dari manakah engkau datang, sayyid?”, Junaid bertanya setelah menjawab salam.
“Aku datang dari Ghilan”, jawab sang sayyid.
“Keturunan siapakah engkau?”, tanya junaid.
“Aku adalah keturunan ’Ali, pangeran kaum Muslimin, semoga Allah memberkatinya”, jawabnya.
“Nenek moyangmu itu bersenjatakan dua bilah pedang”, ujar Junaid. “Yang satu untuk melawan orang-orang kafir dan yang lainnya untuk melawan dirinya sendiri. Pada saat ini, sebagai puteranya, pedang manakah yang engkau gunakan?”
Sang sayyid menangis sedih mendengarkan’ kata-kata ini. Direbahkannya dirinya di depan Junaid dan berkatalah ia:
“Guru, di sinilah ibadah hajiku Tunjukkanlah kepadaku jalan menuju Allah”.
“Dadamu adalah tempat bernaung Allah. Usahakanlah sedaya upayamu agar tidak ada yang cemar memasuki tempat bernaung-Nya itu”.
“Hanya itulah yang ingin kuketahui”, si sayyid berkata.

ooo
Syeikh Junaidi Al Baghdadi dengan Bahlul

Syeikh Junaidi Al Baghdadi pergi untuk jalan-jalan keluar Baghdad. Murid-murid mengikutinya. 

Syeikh bertanya bagaimana kabar bahlul yang gila ? 

Mereka menjawab, “Dia adalah orang gila, apa yang anda perlukan dari dia?” 

“bawalah aku ke dia, karena aku ada perlu dengan nya.” 

Para murid mencari Bahlul dan menemukannya di padang pasir. Mereke membawa Syeikh Junaidi Al Baghdadi kepadanya 

Ketika Syeikh Junaidi Al Baghdadi pergi mendekati Bahlul, Beliau melihat Bahlul dalam keadaan gelisah dengan batu bata ada dibawah kepalanya (posisi kepala dibawah ?) 

Syeikh mengucapkan salam 

Bahlul menjawab dan bertanya, “Siapakah Anda? ” 

” Saya Junaidi Baghdadi.” 

Bahlul bertanya, “Apakah Anda Abul Qasim?” 

“Ya, betul !” jawab Syeikh 

Bahlul bertanya lagi ” Apakah Anda Syeikh Baghdadi yang memberikan orang-orang Petunjuk spiritual? ” 

“Ya!” kemudian Bahlul bertanya ” Tahukah Anda bagaimana cara makan?” 

“Ya!” Saya mengucapkan Bismillah (Dengan mengucap nama Allah SWT). Saya makan yang paling dekat dengan saya, Saya mengambil gigitan kecil, meletakkannya di sisi kanan dari mulut saya, dan mengunyah pelan-pelan. Saya tidak nampak ke gigitan yan lain. Saya mengingat Allah SWT saat makan. Untuk sebutir apapun yang saya makan, Saya mengucap Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah SWT). Saya mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.” 

Bahlul berdiri, meggerakkan pakaiannya pada Syeikh, dan berkata, ” Anda ingin menjadi pemimpin spiritual dunia tapi Anda tidak pun mengetahui bagaimana cara makan.” setelah mengucapkannya, dia langsung pergi. 

Para Murid Syeikh berkata, “O Syeikh! Dia orang yang gila. ” 

Syeikh menjawab, Dia adalah orang gila yang sangat pandai dalam berucap. dengarkan pernyataan yang benar dari nya. 

Setelah mengucapkan Beliau pergi dibelakang Bahlul, dan berkata, ” Saya ada perlu dengan Bahlul.” 


Ketika Bahlul mencapai bangunan yang berdebu, dia duduk. Syeikh mendekatinya. 

Bahlul bertanya, “Siapakah Anda?” 

” Syeikh Baghdadi yang pun tidak mengetahui bagaimana cara makan.” 

” Anda tidak mengetahui bagaiamana makan, tapi apakah Anda tahu bagaimana berbicara?” 

“Ya” 

” Bagaimana anda berbicara ?” 

” Saya berbicara secara umum dan langsung pada pokok masalah. Saya tidak berbicara terlalu tinggi atau terlalu banyak. Saya berbicara sehingga para pendengar dapat mengerti. Saya memanggil semua orang di dunia untuk kembali ke Allah dan Nabi (s). Saya tidak berbicara terlalu banyak sehingga semua orang akan bosan. Saya memperhatikan kedalaman pengetahuan spiritual dan yang umum. 

kemudian dia menggambarkan apapun yang berhubungan dengan Adab dan etika 

Bahlul berkata, “Lupakan soal makan, Anda pun tidak mengetahui bagaimana berbicara.” 

Bahlul berdiri, menggerakkan pakaiannya pada Syeikh dan pergi 

Para murid berkata, “O Syeikh! Anda lihatkan, dia orang yang gila. Apa yang Anda harapkan dari orang yang gila!” 

Syeikh berkata, ” Saya ada perlu dengan dia. Kalian tidak tahu.” 

Sekali lagi Beliau pergi setelah Bahlul sampai Beliau menjumpainya. 

Bahlul bertanya, “Apa yang Anda inginkan dari saya? Anda yang tidak mengetahui Adab makan dan bicara, apakah Anda mengetahui bagaimana cara untuk tidur?” 

” Ya, saya tahu.” 

” Bagaimana cara tidur?” Bahlul bertanya 

” Ketika saya selesai sholat Isya’ dan membacakan permohonan, saya pakai baju tidur saya.” 

Kemudian beliau menggambarkan adab-adab tidur yang sudah diterima oleh beliau dari Orang-orang yang telah belajar agama. 

Bahlul kemudian berkata : ” Saya mengerti bahwa Anda pun tidak mengetahui juga bagaimana untuk tidur.” 

Dia ingin berdiri, tapi Junayd menangkap memegang pakaian nya dan berkata, O Bahlul! Saya tidak mengethuinya; Demi kecintaan kepada Allah SWT ajari saya. 

Bahlul berkata ” Anda mengklaim pengetahuan dan berkata bahwa anda tahu sehingga Saya mencegah Anda. sekarang Anda mengakui ketiadaan pengetahuan Anda, Saya akan mengajari Anda.” 

“Tahu apapun yang Anda utarakan itu adalah tidak penting.” 

” Kebenaran dibalik memakan makanan yang Anda makan menurut hukum adalah sepotong demi sepotong. Jika Anda makan makanan yang dilarang juga, dengan seratus adab, hal itu tidak akan menguntungkan Anda, tapi bisa menjadi alasan untuk menghitamkan hati.” 

” Semoga Allah memberkati Anda pahala yang sangat besar.” ucap Syeikh. 

Bahlul melanjutkan, Hati haruslah bersih, dan memiliki niat yang baik sebelum Anda mulai bicara. dan pembicaraan Anda haruslah menyenangkan Allah SWT. Jika itu untuk segala urusan dunya atau pekerjaan yang sia-sia, maka apapun yang Anda ekspresikan, akan menjadi bencana bagi Anda. Itulah sebabnya diam dan tenang adalah yang terbaik.” 

“Apapun yang Anda ucapkan tentang tidur juga tidak penting. Kebenarannya adalah bahwa hati Anda seharusnya bebas dari permusuhan, cemburu, dan kebencian. Hati Anda seharusnya TIDAK rakus untuk dunya ini atau kekayaanya, dan ingatlah Allah SWT ketika akan tidur. 

Syeikh Junaidi kemudian mencium tangan Bahlul dan berdoa untuk nya. 

Para murid yang menyaksikan kejadian ini, dan yang telah berfikir bahwa Bahlul gila, melupakan tindakannya dan memulai hidup baru 


JUNAID MENINGGAL DUNIA

Ketika ajalnya sudah dekat, Junaid menyuruh sahabat-sahabatnya untuk membentangkan meja dan mempersiapkan makanan.
“Aku ingin menghembuskan nafasku yang terakhir ketika sahabat-sahabatku sedang menyantap seporsi sop”, Junaid berkata.
Kesakitan pertama menyerang dirinya.
“Berilah aku air untuk bersuci”, ia meminta kepada sahabat-sahabatnya.
Tanpa disengaja mereka lupa membersihkan sela-sela jari tangannya. Atas permintaan Junaid sendiri kekhilafan ini mereka perbaiki. Kemudian Junaid bersujud sambil menangis.
“Wahai ketua kami”, murid-muridnya menegurnya, “dengan semua pengabdian dan kepatuhanmu kepada Allah seperti yang telah engkau lakukan, mengapakah engkau bersujud pada saat-saat seperti ini?” .
“Tidak pernah aku merasa lebih perlu bersujud daripada saat-saat ini”, jawab Junaid.
Kemudian Junaid membaca ayat-ayat al-Qur‘an tanpa henti-hentinya.
“Dan engkau pun membaca al-Qur‘an?”, salah seorang muridnya bertanya.
“Siapakah yang lebih berhak daripadaku membaca al-Qur‘an, karena aku tahu bahwa sebentar lagi catatan kehidupanku akan digulung dan akan kulihat pengabdian dan kepatuhanku selama tujuh puluh tahun tergantung di angkara pada sehelai benang. Kemudian angin bertiup dan mengayunkan ke sana ke mari, hingga aku tak tahu, apakah angin itu akan memisahkan atau mempertemukanku dengan-Nya. Di sebelahku akan membentang tebing pemisah surga dan neraka, dan di sebelah yang lain malaikat maut. Hakim yang adil akan menantikanku di sana, teguh tak tergoyahkan di dalam keadilan yang sempurna. Sebuah jalan telah terbentang di hadapanku dan aku tak tahu ke mana aku hendak dibawa”.
Setelah tamat dengan al-Qur‘an yang dibacanya. diIanjutkannya pula tujuh puluh ayat dari surah al-Baqarah.
Kesakitan kedua menyerang Junaid.
“Sebutlah nama Allah”, sahabat-sahabatnya membisikkan.
“Aku tidak lupa”, jawab Junaid. Tangannya meraih tasbih dan keempat jarinya kaku mencengkeram tasbih itu, sehingga salah seorang muridnya harus melepaskannya.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”, Junaid berseru, kemudian menutup matanya dan sampailah ajalnya.
Ketika jenasahnya dimandikan, salah seorang yang ikut memandikannya bermaksud membasuh matanya. Tetapi sebuah seruan dari langit mencegah: “Lepaskan tanganmu dari mata sahabat-Ku. Matanya tertutup bersama nama-Ku dan tidak akan dibukakan kembali kecuali ketika dia menghadap-Ku nanti”. Kemudian ia hendak membuka jari-jari Junaid untuk dibasuhnya, Sekali lagi terdengar suara mencegah: “Jari-jari yang telah kaku bersama nama-Ku tidak akan dibukakan kecuali melalui perintah—Ku”.
Ketika jenasah Junaid diusung, seekor burung berbulu putih hinggap di sudut peti matinya. Percuma saja para sahabat mencoba mengusir burung itu, karena ia tak mau pergi. Akhirnya burung itu berkata:
“Janganlah kalian menyusahkan diri kalian sendiri. dan menyusahkan aku. Cakar-cakarku telah tertancap di sudut peti mati ini oleh paku cinta. Itulah sebabnya aku hinggap di sini. Janganlah kalian bersusah-payah. Sejak saat ini Jasadnya dirawat oleh para malaikat. Jika bukan karena kegaduhan yang kalian buat, niscaya jasad Junaid telah terbang ke angkasa sebagai seeekor elang putih bersama-sama dengan kami”.[]