MASALAH ADAT ORANG-ORANG JAWA
Pada suatu ketika Sunan Kalijaga
mengusulkan agar adat istiadat orang jawa seperti selamatan, bersaji
dll tidak langsung ditentang, sebab orang jawa akan lari menjauhi ulama
jika ditentang secara keras. Adat istiadat itu diusulkan agar diberi
warna atau unsur Islam.
Sunan Ampel bertanya atas usulan Sunan Kalijaga itu.
Apakah
adat istiadat lama itu nantinya tidak mengkhawatirkan bila dianggap
ajaran Islam? Padahal yang demikian itu tidak ada dalam ajaran Islam.
Apakah hal ini tidak akan menjadikan bid’ah?
Pertanyaan Sunan Ampel ini dijawab oleh Sunan Kudus.
.............
Saya
setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, sebab ada sebagian ajaran agama
Budha yang mirip dengan ajaran Islam, yaitu orang kaya harus menolong
orang fakir miskin. Adapun mengenai kekhawatiran Kanjeng Sunan Ampel,
saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari nanti akan ada orang
Islam yang akan menyempurnakannya.
Pendukung Sunan Kalijaga ada lima orang, sedang pendukung Sunan Ampel hanya dua orang yaitu Sunan Giri dan Sunan Drajad,
maka usulan Sunan Kalijaga diterima. Adat istiadat jawa yang diwarnai
Islam itu antara lain selamatan mitoni, selamatan mengirim doa untuk
orang mati (biasanya disebut tahlilan) dan lain-lain yang secara hakiki
tidak bertentangan dengan aqidah Islam.
Pada
suatu ketika para wali berkumpul setelah empat puluh hari meninggalnya
Sunan Ampel. Sunan Kalijaga tiba-tiba membakar kemenyan. Para wali yang
lain menganggap tindakan Sunan Kalijaga berlebihan karena membakar
kemenyan adalah kebiasaan orang jawa yang tidak Islami.
Sunan Kudus
berkata: membakar kemenyan ini biasanya dilakukan orang jawa untuk
memanggil arwah orang mati. Ini tidak ada dalam ajaran Islam.
Sunan Kalijaga
berkata: Kita ini hendak mengajak orang jawa masuk Islam, hendaknya
kita dapat mengadakan pendekatan pada mereka. Kita membakar kemenyan
bukan untuk memanggil awrah orang mati, melainkan sekedar mengharumkan
ruangan, karena orang-orang jawa ini kebanyakan hanya mengenal kemenyan
sebagai pengharum, bukan wangi-wangian lainnya. Bukankah wangi-wangian
itu disunnahkan Nabi?
Tapi tidak harus membakar kemenyan kata Sunan Kudus.
Adakah didalam hadist disebutkan larangan membakar kemenyan sebagai pengharum ruangan? Tukas Sunan Kalijaga.
Wali
lainnya hanya diam saja. Sementara Sunan Kudus yang sebenarnya lebih
condong berpihak kepada Sunan Kalijaga kali ini entah mengapa merasa
risih atas tindak-tanduk Sunan Kalijaga.
Sunan
Kalijaga memang suka yang aneh-aneh, ujar Sunan Kudus. Tapi janganlah
Sunan Kalijaga merendahkan martabat sebagai wali dengan memakai pakaian
seperti itu.
Sunan
Kalijaga memang lebih sering memakai pakaian seperti rakyat biasa.
Celana panjang warna hitam atau biru dan baju dengan warna serupa, ikat
kepalanya hanya berupa udeng atau destar.
Sunan
Kalijaga menjawab, dihadapan Allah tidak ada yang istimewa. Hanya kadar
taqwa yang jadi ukuran derajat seseorang bukan pakaiannya. Lagi pula
ajaran Islam hanya menyebutkan kewajiban setiap umat menutup aurat.
Tidak disebutkan harus memakai jubah atau sarung. Justru dengan pakaian
seperti ini saya dapat bergaul dengan rakyat jelata dan dengan mudah
saya dapat memberikan ajaran Islam kepada mereka.
Kembali para wali membenarkan pendapat Sunan Kalijaga.
Selanjutnya
Sunan Kalijaga juga mengusulkan agar kesenian rakyat seperti gending,
tembang dan wayang dapat diterima oleh para wali sebagai media dakwah.
Usul ini oleh para wali akhirnya disetujui.
SUNAN KUDUS
1. Asal Usul
Menurut
salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putera Raden Usman haji yang
bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak
Jipang Panolan ini disebelah utara kota Blora. Di dalam babad tanah
jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Majapahit.
Sunan ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan Raden Husain atau
Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling
mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan
sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh sunan Kudus yang puteranya sendiri yang bernama asli Ja’far Sodiq.
Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhinya berimbang.
Selanjutnya
melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan
Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin
laskar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang
ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung
dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara
Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan
oleh pasukan Demak.
2. Guru-gurunya
Disamping
belajar agama kepada ayahnya sendiri, Ja’far Sodiq juga belajar kepada
beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng
Ngerang dan Sunan Ampel.
Nama
asil Kiai Telingsing ini adalah Ling Sing, beliau adalah seorang ulama
dari negeri cina yang datang ke pulau jawa bersama laksamana jenderal
Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, jenderal Cheng Hoo yang
beragama Islam itu datang ke pulau jawa untuk mengadakan tali
persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.
Di
jawa, the Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau
tinggal di sebuah daerah subur yang terletak diantara sungai
Tanggulangin dan sungai Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan hanya
mengajarkan Islam, melainkan juga mengajarkan kepada penduduk seni ukir
yang indah.
Banyak
yang datang berguru seni kepada Kiai Telingsing, termasuk Ja’far Sodiq
itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari cina itu,
Raden Ja’far Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat cina
yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita.
Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Ja’far Sodiq dimasa
akan datang yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih
beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.
3. Cara Berdakwah yang Luwes
A. Strategi Pendekatan kepada Massa
Sunan
Kudus termasuk pendukung gagasan, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang
menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut :
1. Membiarkan
dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar dirubah. Mereka
sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal
menghadapi masyarakat yang demikian.
2. Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
3. Tut
Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan
adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi
sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti
dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
4. Menghindarkan
konfrontasi secara langsung atau secara keras didalam cara menyiarkan
agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan
airnya.
5. Pada
akhirnya boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau
masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya
harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat
dan tertarik dengan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan
kecuali dengan konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara
lengkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah merupakan
dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non-muslim.
Strategi
dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria,
Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Karena siasat mereka dalam berdakwah
tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka
disebut kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang
didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran
Giri.
Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhinya dapat dikompromikan.
B. Merangkul Masyarakat Hindu
Di
Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan
Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah.
Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh
adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Di dalam masyarakat seperti
itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada
suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam
riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia,
dibawa para pedagang asing dari kapal besar.
Sapi itu ditambatkan dihalaman rumah Sunan Kudus.
Rakyat
Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu
apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam
pandangan Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para dewa.
Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para dewa. Lalu apa
yang dilakukan Sunan Kudus?
Apakah
Sunan Kudus hendak menyembelih sapi dihadapan rakyat yang kebanyakan
justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan
Kudus melukai hati rakyatnya sendiri.
Dalam
tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang
beragama Islam maupun Budha. Setelah jumlah penduduk yang datang
bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.
Sedulur-sedulur
yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai, Sunan Kudus
membuka suara. Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi
menyembelih sapi. Sebab diwaktu saya masih kecil, saya pernah mengalami
saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang
menyusui saya.
Mendengar
cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka
menyangka Ja’far Sodiq itu adalah titisan dewa Wisnu, maka mereka
bersedia mendengarkan ceramahnya. Demi rasa hormat saya kepada jenis
hewn yang pernah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk
Kudus menyakiti atau menyembelih sapi.
Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu.
Sunan
kudus melanjutkan, salah satu diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu
surat yang kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya
Al-Baqarah, kata Sunan Kudus.
Masyarakat
semakin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an mereka menjadi ingin
tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang
mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah,
sesudah simpati itu berhasil diraih akan lapanglah jalan untuk mengajak
masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Bentuk
mesjid yang dibuat Sunan Kudus pun tak jauh bedanya dengan candi-candi
milik orang Hindu. Lihatlah menara Kudus yang antik itu, yang hingga
sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan
bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak
takut atau segan masuk ke dalam mesjid guna mendengarkan ceramah Sunan
Kudus.
C. Merangkul Masyarakat Budha
Sesudah
berhasil menarik umat Hindu kedalam agama Islam hanya karena sikap
toleransi yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat
Hindu dan membangun menara mesjid mirip dengan candi Hindu. Kini Sunan
Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus
kreatif dan tidak bersifat memaksa.
Sesudah
mesjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat wudhu dengan
pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca
kepala kebo gumarang diatasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha,
“Jalan berlipat delapan” atau Sanghika Marga” yaitu :
1. Harus memiliki pengetahuan yang benar
2. Mengambil keputusan yang benar
3. Berkata yang benar
4. Hidup dengan cara yang benar
5. Bekerja dengan benar
6. Beribadah dengan benar
7. Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya
pun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk itu Sunan
Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat
berwudhu, sehingga mereka berdatangan ke mesjid untuk mendengarkan
keterangan Sunan Kudus.
D. Selamatan Mitoni
Didalam
cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal
mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti
diketahui, rakyat jawa banyak melakukan adat istiadat yang aneh, yang
kadang kala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnnya berkirim sesaji
dikuburan untuk menunjukkan bela sungkawa atau berduka cita atas
meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni. Mitoni
dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual
tersebut dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya
dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan
Sunan Muria.
Contohnya,
bila seorang isteri orang jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukan
acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila
anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Adat
tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan
diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selataman boleh terus dilakukan
tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan
bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh
dibawa pulang. Sedangkan permintaannya langsung kepada Allah dengan
harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah seperti nabi Yusuf, dan
bila perempuan seperti Siti Maryam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah
dan ibu harus sering membaca surat Yusuf dan surat Maryam dalam
Al-Qur’an.
Sebelum
acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya atau
sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga
sekarang acara pembacaan Layang Ambiya yang berbentuk tembang
Asmarandana, Pucung dll itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan.
Berbeda
dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis
makanan, kemudian diikrarkan (hajatkan dihajatan) oleh sang dukun atau
tetua masyarakat setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak
boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau
tempat-tempat sunyi dilingkungan tuan rumah.
Ketika
pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu
beliau mengundang seluruh masyarakat. Baik yang Islam maupun yang Hindu
dan Budha ke dalam mesjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus
yang hendak Mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang isteri yang telah
tiga bulan.
Sebelum
masuk mesjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya dikolam yang
sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah
banyak rakyat yang tidak mau, terutama dikalangan Hindu dan Budha.
Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan
syariat berwudhu kepada masyarakat, tapi akibatnya masyarakat malah
menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka belum
terbina.
Maka
pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini
tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk mesjid, hasilnya
sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya,
disaat inilah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam
secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup
cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan
sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikuatirkan
mereka jenuh Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.
Cara
tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positipnya,
rakyat ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka
datang lagi ke mesjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena ingin
tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada syarat yang diajukan
Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang
lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu.
Dengan
demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya dimasa lalu. Rakyat
menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk
mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui
ceramah agama maupun adau kesaktian dan melalui kesenian, beliaulah yang
pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Didalam
tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.
Sunan Kudus di Negeri Mekkah
Didalam legenda dikisahkan bahwa Raden Ja’far Sodiq itu suka mengembara, baik ke tanah Hindustan maupun ke tanah Suci Mekkah.
Sewaktu
berada di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan disana
ada wabah penyakit yang sukar diatasi. Penguasa negeri arab mengadakan
sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan
diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.
Sudah
banyak orang mencoba tapi tidak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan
Kudus atau Ja’far Sodiq menghadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya
disambutnya dengan sinis.
Dengan apa tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu? Tanya sang Amir.
Dengan doa jawab Ja’far Sodiq singkat.
Kalau
hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya, di tanah arab ini
banyak ulama dan syekh-syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil
mengusir wabah penyakit ini.
Saya
mengerti memang tanah arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa
ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan, kata
Ja’far Sodiq.
Hem, sungguh bernai tuan mengatakan demikian, kata amir itu dengan nada berang. Apa kekurangan mereka?
Anda
sendiri yang menyebabkannya, kata Ja’far Sodiq dengan tenangnya. Anda
telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga doa
mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharapkan hadiah.
Sang Amir pun terbungkam seribu bahasa atas jawaban itu.
Ja’far
Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak
disia-siakan. Secara khusus Ja’far Sodiq berdoa dan membaca beberapa
amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas dinegeri arab telah
menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara
mendadak langsung sembuh.
Bukan
main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya.
Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikan kepada Ja’far Sodiq.
Tapi
Ja’far Sodiq menolaknya, dia hanya ingin minta sebuah batu yang berasal
dari Baitul Maqdis. Sang Amir mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke
tanah jawa, dipasang di pengimaman mesjid Kudus yang didirikannya
sekembali dari tanah suci.
Rakyat
kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha.
Para wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas
berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Ja’far Sodiq yang bertugas didaerah
itu. Karena mesjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Ja’far
Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
SYEKH MAULANA MALIK IBRAHIM
1. Asal usul SYEKH MAULANA MALIK IBRAHIM
Jauh
sebelum Maulana Malik Ibrahim datang ke Pulau Jawa. Sebenarnya sudah
ada masyarakat Islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa
Leran. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita
bernama Fatimah Binti Maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriyah atau
pada tahun 1082 M.
Jadi
sebelum jaman Wali Songo, Islam sudah ada di pulau Jawa, yaitu daerah
Jepara dan Leren. Tetapi Islam pada masa itu masih belum berkembang
secara besar-besaran.

Pada
masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja
dan rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagian
rakyat Gresik sudah ada yang beragam Islam, tetapi masih banyak yang
beragama Hindu atau bahkan tidak beragama sama sekali.
Dalam Dakwah kakek bantal menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan ajaran Al-Qur’an yaitu :
“Hendaklah
engkau ajak kejalan TuhanMu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan
petunjuk-petunjuk yang baik serta ajaklah mereka berdialog (bertukar
pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya (QS. An Nahl ; 125)”
Ada
yang menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki dan pernah mengembara
di Gujarat sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang
Hindu di pulau Jawa. Gujarat adalah wilayah negara Hindia yang
kebanyakan penduduknya beragama Hindu.
Di
Jawa, kakek bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu
melainkan juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun
mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan iman dari
orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan Musyrik. Caranya ,
beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang salah itu
melainkan mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan
keindahan dan ketinggian akhlak Islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad
SAW.
Dari
huruf-huruf arab yang terdapat pada batu nisannya dapat diketahui bahwa
Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong fakir
miskin, yang dihormati para pangeran dan para sultan ahli tata negara
yang ulung, hal itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap
masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan
rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin.
Keterangan yang tertulis dimakamnya ialah sbb : “inilah
makam Almarhum Almaghfur, yang berharap rahmat Tuhan, kebanggaan para
pangeran, para Sultan dan para Menteri, penolong para Fakir dan Miskin,
yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol negara dan agama, Malik
Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal. Allah meliputinya dengan
RahmatNya dan KeridhaanNya, dan dimasukkan ke dalam Surga. Telah Wafat
pada hari Senin 12 Rabiul Awal tahun 822 H.”
Menurut
literatur yang ada, beliau juga ahli pertanian dan ahli pengobatan.
Sejak beliau berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik meningkat
tajam. Dan orang-orang sakit banyak yang disembuhkannya dengan
daun-daunan tertentu.
Sifatnya
lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang, baik
sesama muslim atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh
masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah
yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong
masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau yang
setia.
Sebagai
misal beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam
sekali, beliau tidak menjelaskan Islam secara njelimet. Kaum bawah
tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah agar sawah dan ladang
mereka dapat dipanen lebih banyak lagi. Sesudah itu mereka dianjurkan
bersyukur kepada yang memberikan Rezeki yaitu Allah SWT.
Dikalangan
rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama
dari kalangan kasta rendah. Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi
masyarakat menjadi 4 kasta yaitu ; kasta brahmana, kstaria, waisya dan
sudra. Dari ke empat kasta tersebut kasta sudra adalah yang paling
rendah dan sering di tindas oleh kasta-kasta yang lebih tinggi. Maka
ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seseorang
didalam Islam, orang-orang kasta sudra dan waisya banyak yang tertarik,
Syekh Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua
manusia sama sederajat. Orang sudra boleh saja bergaul dengan kalangan
yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Dihadapan Allah semua manusia
adalah sama, yang paling mulia diantara mereka hanyalah yang paling
taqwa disisi Allah SWT.
Taqwa
itu letaknya dihati, hati yang mengendalikan segala gerak kehidupan
manusia untuk berusaha sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah
dan menjauhi segala laranganNya.
Dengan
taqwa itulah manusia akan hidup bahagia di dunia dan di akherat kelak,
orang yang bertaqwa sekalipun dia dari kasta sudra bisa jadi lebih mulia
daripada mereka yang berkasta ksatria dan brahmana.
Mendengar
keterangan ini, mereka yang berasal dari kasta sudra dan waisya merasa
lega, mereka merasa dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia yang
utuh sehingga wajarlah bila mereka berbondong-bondong masuk agama Islam
dengan suka cita.
Setelah
pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan mesjid untuk
beribadah bersama-sama dan mengaji. Dalam membangun mesjid ini beliau
mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Raja Carmain.
Dan
untuk mempersiapkan kader umat yang nantinya dapat meneruskan
perjuangan menyebarkan agama Islam ke seluruh tanah Jawa dan seluruh
Nusantara maka beliau kemudian mendirikan pesantren yang merupakan
perguruan Islam, tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai
calon mubaligh.
Pendirian
pesantren yang pertama kali di Nusantara itu di ilhami oleh kebiasaan
masyarakat Hindu yaitu para Biksu dan Pendeta Brahmana yang mendidik
cantrik dan calon pemimpin agama di mandala-mandala mereka.
Inilah salah satu strategi
para wali yang cukup jitu, orang Budha dan Hindu yang mendirikan
mandala-mandala untuk mendidik kader tidak dimusuhi secara frontal,
melainkan beliau-beliau itu mendirikan pesantren yang mirip dengan
mandala-mandala miliki kelompok Hindu dan Budha tersebut untuk menjaring
umat. Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan, dari pesantren Gresik
kemudian muncul para mubaligh yang menyebar ke seluruh Nusantara.
Tradisi
pesantren tersebut berlangsung hingga dijaman sekarang. Dimana para
ulama menggodok calon mubaligh dipesantren yang diasuhnya.
Bila
orang bertanya suatu masalah agama kepada beliau maka beliau tidak
menjawab dengan berbelit-belit melainkan dijawabnya dengan mudah dan
gamblang sesuai dengan pesan Nabi yang menganjurkan agama disiarkan
dengan mudah, tidak dipersulit, umat harus dibuat gembira, tidak
ditakut-takuti.
Pada suatu hari Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya tentang : Apakah yang dinamakan Allah itu ?
Beliau
tidak menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan yang memberi pahala surga
kepada hambaNya yang berbakti dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba
yang membangkang kepadaNya.
Jawabannya cukup singkat dan jelas yaitu, “Allah adalah Zat yang diperlukan adaNya.”
Dua
tahun sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau
tidak hanya membimbing umat untuk mengenal dan mendalami agama Islam,
melainkan juga memberi pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat Gresik
menjadi lebih baik. Beliau pula yang mempunyai gagasan mengalirkan air
dari gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk. Dengan adanya sistem
pengairan yang baik ini lahan pertanian menjadi subur dan hasil panen
bertambah banyak, para petani menjadi makmur dan mereka dapat
mengerjakan ibadah dengan tenang.
Andaikata
Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi dan meningkatkan taraf
hidup rakyat Gresik tentulah mereka sukar diajak beribadah dengan baik
dan tenang. Sebagaimana sabda Nabi bahwa kefakiran menjurus pada
kekafiran. Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang jika
sehari-hari disibukkan dengan urusan sesuap nasi. Inilah resep yang
harus ditiru.
2. Tamu dari Negeri Carmain
Ada
ganjalan di hari Syekh Maulana Malik Ibrahim, dia telah berhasil
mengIslamkan sebagian besar rakyat Gresik. Yang mana saat itu Gresik
merupakan bagian dari wilayah Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah
memeluk Islam sementara Raja Brawijaya penguasa Majapahir masih beragama
Hindu, apakah dibelakang hari tidak timbul ketegangan antara rakyat
dengan rajanya.
Untuk menghindari hal itu maka Syekh Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana mengajak Raja Brawijaya untuk masuk agama Islam.
Hal
itu diutarakan kepada sahabatnya yaitu Raja Carmain. Ternyata Raja
Carmain juga mempunyai maksud serupa. Sudah lama Raja Carmain ingin
mengajak Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Pada tahun 1321 M. Raja
Carmain datang ke Gresik disertai putrinya yang cantik rupawan. Putri
Raja Carmain itu bernama Dewi Sari, tujuannya dalam misi tersebut adalah
untuk memberikan bimbingan kepada para putri istana Majapahit mengenal
agama Islam.
Bersama
Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan dari negeri Carmain itu menghadap
Prabu Brawijaya. Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya
bersikeras mempertahankan agama lama dengan ucapan diplomatis. Bahwa dia
bersedia masuk Islalm bila Dewi Sari bersedia dipersuntingnya sebagai
isteri. Dewi Sari menolak, tidak ada gunanya masuk Islam bila
ditunggangi dengan kepentingan duniawi. Beragama seperti itu hanya akan
merusak keagungan agama Islam.
Rombongan
dari negeri Carmain lalu kembali ke Gresik. Mereka beristiharat di
Leran sembari menunggu selesainya perbaikan kapal untuk berlayar pulang
Sungguh
sayang sekali, selama peristirahatan di Leran banyak anggota dari
negeri Carmain yang diserang wabah penyakit. Banyak diantara mereka yang
tewas, termasuk Dewi Sari.
Kabar
kematian Dewi Sari terdengar ke telinga Prabu Brawijaya, Raja yang
memang tertarik dan merasa jatuh cinta kepada Dewi Sari itu kemudian
menyempatkan diri beserta para punggawanya berkunjung ke Leran. Raja
Brawijaya memerintahkan kepada para punggawanya untuk menggali kubur dan
memakamkan Dewi Sari dengan upacara kebesaran.
Setelah
rombongan dari negeri Carmain itu meninggalkan pantai Leran Prabu
Brawijaya menyerahkan seluruh daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik
Ibrahim untuk diperintah sendiri dibawah kedaulatan Majapahit.
Penyerahan
wilayah itu adalah siasat dari sang Raja agar rakyat Gresik yang
beragama Islam itu tidak memberontak kepada Rajanya yang masih beragama
Hindu.
Amanat
Raja Majapahit itu diterima oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim dengan
sukarela. Sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan perdamaian
walaupun dengan kafir zimmi yaitu orang-orang bukan muslim yang mau
hidup berdampingan dengan aman dalam suatu negara.
Demikianlah sekilas
tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim, seorang waliyullah yang dianggap
sebagai ayah dari Wali Songo. Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H
atau 1419 M.
SUNAN AMPEL
1. Asal usul SUNAN AMPEL
Tahukah anda dengan daerah Bukhara? Bukhara terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah Samarqand dikenal sebagai daerah Islam yang melahirkan ulama-ulama besar seperti Imam Bukhari yang mashur sebagai pewaris hadist shahih.
Disamarqand
ini ada seorang ulama besar bernama Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra,
seorang Ahlussunnah bermazhab syafi’I, beliau mempunyai seorang putera
bernama Ibrahim, dan karena berasal dari samarqand maka Ibrahim kemudian
mendapatkan tambahan nama Samarqandi. Orang jawa sukar menyebutkan
Samarqandi maka mereka hanya menyebutnya sebagai Syekh Ibrahim
Asmarakandi.
Syekh
Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin
Jumadil Kubra untuk berdakwah ke negara-negara Asia. Perintah inilah
yang dilaksanakan dan kemudian beliau diambil menantu oleh Raja Cempa,
dijodohkan dengan puteri Raja Cempa yang bernama Dewi Candrawulan.
Negeri
Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari
perkawinan dengan Dewi Candrawulan maka Syekh Ibrahim Asmarakandi
mendapat dua orang putera yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Ali
Murtadho. Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati
diperisteri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian keduanya
adalah keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putera bangsawan atau
pangeran kerajaan. Para pangeran atau bangsawan kerajaan pada waktu itu
mendapat gelar Rahadian yang artinya Tuanku, dalam proses selanjutnya
sebutan ini cukup dipersingkat dengan Raden.
Raja
Majapahit sangat senang mendapat isteri dari negeri Cempa yang wajahnya
dan kepribadiannya sangat memikat hati. Sehingga isteri-osteri yang
lainnya diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang
tersebar di seluruh Nusantara. Salah satu contoh adalah isteri yang
bernama Dewi Kian, seorang puteri Cina yang diberikan kepada Adipati
Ario Damar di Palembang.
Ketika
Dewi Kian diceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang
hamil tiga bulan. Ario Damar menggauli puteri Cina itu sampai si jabang
bayi terlahir kedunia. Bayi yang lahir dari Dewi Kian itulah yang
nantunya bernama Raden Hasan atau lebih dikenal dengan nama “ Raden
Patah “, salah satu seorang daru murid Sunan Ampel yang menjadi Raja di
Demak Bintoro.
Kerajaan
Majapahit sesudah ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk
mengalami kemunduran Drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya
perang saudara. Dan para adipati banyak yang tidak loyal dengan keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya Kertabumi.
Pajak
dan upeti kerajaan tidak ada yang sampai ke istana Majapahit. Lebih
sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat sang
Prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum
bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pra dan main judi serta
mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam ini
diteruskan negara/kerjaan akan menjadi lemah dan jika kerajaan sudah
kehilangan kekuasaan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan
Majapahit Raya.
Ratu
Dwarawati, yaitu isteri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati
suaminya. Dengan memberanikan diri dia mengajukan pendapat kepada
suaminya. Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal
mengatasi kemerosotan budi pekerti, kata Ratu Dwarawati.
Betulkah?
Tanya sang Prabu . Ya, namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putera dari
kanda Dewi Candrawulan di negeri Cempa. Bila kanda berkenan saya akan
meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke
Majapahit ini.
Tentu saja aku merasa senang bila Rama Prabu di Cempa Berkenan mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ini kata Prabu Brawijaya.
2. Ketanah Jawa
Maka
pada suatu ketika diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri
Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit.
Kedatangan utusan tersebut disambut gembira oleh Raja Cempa, dan Raja
Cempa bersedia mengirim cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
Keberangkatan
Sayyid Ali Rahmatullah ke tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh
ayah dan kakaknya. Sebagaimana disebutkan diatas, ayah Sayyid Ali
Rahmatullah adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya
bernama Sayyid Ali Murtadho. Diduga tidak langsung ke Majapahit,
melainkan terlebih dahulu ke Tuban. Di Tuban tepatnya di desa
Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggak
dunia, beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk kecamatan
Palang Kabupaten Tuban.
Sayyid
Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berdakwah keliling
daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Disana beliau mendapat
sebutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik mendapat
sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik, Sayyid Ali
Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya
sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
Kapal
layar yang ditumpanginya mendarat dipelabuhan Canggu. Kedatangannya
disambut dengan suka cita oleh Prabu Brawijaya. Ratu Dwarawati bibinya
sendiri memeluknya erat-erat seolah-olah sedang memeluk kakak
perempuannya yang di negeri Cempa. Karena wajah Sayyid Ali Rahmatullah
memang sangat mirip dengan kakak perempuannya.
Nanda
Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum
bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia!!
Tanya sang Prabu kepada Sayyid Ali Rahmatullah setelah beristirahat
melepas lelah. Dengan sikapnya yang sopan santun tutur kata yang halus
Sayyid Ali Rahmatullah menjawab. Dengan senang hati Gusti Prabu, saya
akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik
mereka.
Bagus!
Sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah
berikut bangunannya di Surabaya. Disanalah kau akan mendidik para
bangsawan dan pangeran Majapahit agar berbudi pekerti mulia.”
“Terima
kasih saya haturkan Gusti Prabu”, Jawab Sayyid Ali Rahmatullah.
Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah
menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah
satu puteri Majapahit yang bernama Dewi Candrowati atau Nyai Ageng
Manila. Dengan demikian Sayyid Ali Rahmtullah adalah salah seorang
Pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu Raja Majapahit.
Semenjak
Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya maka beliau
adalah anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran,
para pangeran pada jaman dahulu ditandai dengan nama depan Rahadian atau
Raden yang berati Tuanku. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan
sebutan Raden Rahmat.
3. Ampeldenta
Selanjutnya,
pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke
sebuah daerah di Surabaya yang kemudian disebut dengan Ampeldenta.
Rombongan
itu melalui desa Krian, Wonokromo terus memasuki Kembangkuning. Selama
dalam perjalanan beliau juga berdakwah kepada penduduk setempat yang
dilaluinya. Dakwah yang pertama kali dilakukannya cukup unik. Beliau
membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan
tertentu dan anyaman rotan. Kipas-kipas ini dibagikan kepada penduduk
setempat secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarkannya dengan
kalimah syahadat.
Penduduk
yang menerima kipas itu merasa sangat senang. Terlebih setelah mereka
mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas, akar yang dianyam bersama
rotan itu ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena penyakit
batuk dan demam. Dengan cara itu semakin banyak orang yang berdatangan
kepada Raden Rahmat. Pada saat demikianlah ia memperkenalkan keindahan
agama Islam sesuai tingkat pemahaman mereka.
Cara
itu terus dilakukan sehingga rombongan memasuki desa kembang kuning.
Pada saat itu kawasan desa kembang kuning belum seluas sekarang ini.
Disana sini masih banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa. Dengan
karomahnya Raden Rahmat bersama rombongan membuka hutan dan mendirikan
tempat sembahyang sederhana atau langgar. Tempat sembahyang itu sekarang
dirubah menjadi mesjid yang cukup besar dan bagus dinamakan sesuai
dengan nama Raden Rahmat yaitu Mesjid Rahmat Kembang Kuning.
Ditempat
itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh
masyarakat yaitu Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh
masyarakat itu bersama keluarganya masuk Islam dan menjadi pengikut
Raden Rahmat.
Dengan
adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden Rahmat
untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Terutama
kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama.
Beliau tidak langsung melarang mereka, melainkan memberikan pengertian
sedikit demi sedikit tentang pentingnya ajaran ketauhidan. Jika mereka
sudah mengenal tauhid atau keimanan kepada Tuhan Pencipta Alam, maka
secara otomatis mereka akan meninggalkan sendiri kepecayaan lama yang
bertentangan dengan ajaran Islam.
Setelah
sampai ditempat tujuan, pertama kali yang dilakukannya adalah membangun
mesjid sebagai pusat kegiatan ibadah. Ini meneladani apa yang dilakukan
Nabi Muhammad SAW saat pertama kali sampai di Madinah.
Dan
karena menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut
maka kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal dari
kata Susuhunan yang artinya yang dijunjung tinggi atau panutan
masyarakat setempat. Ada juga yang mengatakan Sunan berasal dari kata
Suhu Nan artinya Guru Besar atau orang yang berilmu tinggi.
Selanjutnya beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru kepada beliau.
4. Ajarannya yang terkenal
Hasil didikan mereka yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu :
1. Moh Main atau tidak mau berjudi
2. Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau bermabuk-mabukan
3. Moh Maling atau tidak mau mencuri
4. Moh Madat atau tidak mau mengisap candu, ganja dan lain-lain.
5. Moh Madon atau tidak mau berzinah/main perempuan yang bukan isterinya.
Prabu
Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja
menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka
ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam
maka Prabu Brawijaya tidak marah, hanya saja ketika dia diajak untuk
memeluk agama Islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi raja Budha yang
terakhir di Majapahit.
Raden
Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan
diseluruh wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh
dipaksa, Raden Rahmat pun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan
dalam beragama.
5. Sesepuh Wali Songo
Setelah
Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai
sesepuh Wali Songo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se-Tanah
Jawa. Beberapa murid dan putera Sunan Ampel sendiri menjadi anggota Wali
Songo, mereka adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan
Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus dan
Sunan Gunung Jati.
Raden
Patah atau Sunan Kota memang pernah menjadi anggota Wali Songo
menggantikan kedudukan salah seorang wali yang meninggal dunia. Dengan
diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain tunduk patuh
kepada kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan peperangan
dengan pihak Majapahit.
Para
wali yang lebih muda menginginkan agar tahta Majapahit direbut dalam
tempo secepat-cepatnya. Tetapi Sunan Ampel berpendapat bahwa masalah
tahta Majapahit tidak perlu diserang secara langsung, karena kerajaan
besar itu sesungguhnya sudah keropos dari dalam, tak usah diserang oleh
Demak Bintoro sebenarnya Majapahit akan segera runtuh. Para wali yang
lebih muda menganggap Sunan Ampel terlalu lamban dalam memberikan
nasehat kepada Raden Patah.
“Mengapa
Ramanda berpendapat demikian?” tanya Raden Patah yang juga adalah
menantunya sendiri. “Krena aku tidak ingin di kemudian hari ada orang
menuduh Raja Demak Bintoro yang masih putera Raja Majapahit Prabu
Kertabumi telah berlaku durhaka, yaitu berani menyerang ayahandanya
sendiri”. Jawab Sunan Ampel dengan tenang.
“Lalu apa yang harus saya lakukan?”
“Kau
harus sabar menunggu sembari menyusun kekuatan”, ujar Sunan Ampel. “Tak
lama lagi Majapahit akan runtuh dari dalam, diserang Adipati lain. Pada
saat itulah kau berhak merebut hak warismu selaku putera Prabu
Kertabumi”.
“Majapahit diserang adipati lain? Apakah saya tidak berkwajiban membelanya?”
“Inilah
ketentuan Tuhan”,sahut Sunan Ampel. Waktu kejadiannya masih
dirahasiakan. Aku sendiri tidak tahu persis kapankah persitiwa itu akan
berlangsung. Yang jelas bukan kau adipati yang menyerang Majapahit itu.
Sunan Ampel adalah penasehat Politik Demak Bintoro sekaligus merangkap
Pemimpin Wali Songo atau Mufti Agama se-Tanah Jawa. Maka fatwa nya
dipatuhi semua orang.
Kekhawatiran
Sunan Ampel pun terbukti. Dikemudian hari ternyata orang-orang pembenci
Islam memutar balikkan fakta sejarah, mereka menuliskan bahwa Majapahit
jatuh diserang oleh kerajaan Demak Bintoro yang rajanya adalah putera
raja Majaphit sendiri. Dengan demikian Raden Patah dianggap sebagai anak
durhaka. Ini dapat anda lihat didalam serat darmo gandul maupun sejarah
yang ditulis sarjana kristen pembenci Islam.
Raden
Patah dan para wali lainnya akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan
Ampel. Tibalah saatnya Sunan Ampel Wafat pada tahun 1478 M. Sunan
Kalijaga diangkat sebagai penasehat bagian politik Demak, Sunan Giri
diangkat sebagai pengganti Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para wali
dan pemimpn agama se-Tanah Jawa.setelah Sunan Giri diangkat sebagai
Mufti sikapnya terhadap Majapahit sekarang berubah. Ia mneyetujui aliran
tuban untuk memberi fatwa kepada Raden Patah agar menyerang Majapahit.
Mengapa Sunan Giri bersikap demikian?
Karena
pada tahun 1478 kerjaan Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau
Girindrawardhana dari kadipaten kediri atau keling. Dengan demikian
sudah tepatlah jika Sunan Giri meneyetujui penyerangan Demak atas
Majapahit. Sebab pewaris sah tahta kerajaan Majapahit adalah Raden Patah
selaku putera Raja Majapahit yang terakhir.
Demak
kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan
dilancarkan. Prabu Wijaya keburu tewas diserang oleh Prabu Udara pada
tahun 1498.
Pada
tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam
kedudukannya karena melihat kedudukan Demak yang didukung Giri Kedaton
semakin kuat dan mapan. Prabu udara kuatir jika terjadi peperangan akan
menderita kekalahan, maka dia minta bekerjasama dan minta bantuan
Portugis di Malaka. Padahal putera mahkota Demak yaitu Pati Unus pada
tahun1511 telah menyerang Protugis.
Sejarah
telah mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untu
menemui Alfinso d’Albuquerque untuk menyerahkan hadiah berupa 20 genta
(ggamelan), sepotong kain panjang bernama “Beirami” tenunan kambayat, 13
batang lembing yang ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka tidak salah
jika pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara yang merampas tahta
majapahit secara sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan
Demak. Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit tentunya bangsa
Portugis akan menjajah Tanah Jawa jauh lebih cepat daripada Bangsa
Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak
Bintoro. Termasuk mahkota rajanya. Raden Patah diangkat sebagai raja
Demak yang pertama.
Sunan
Ampel juga turut membantu mendirikan Mesjid Agung Demak yang didirikan
pada tahun 1477 M. Salah satu diantara empat tiang utama mesjid Demak
hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu
Sunan Ampel.
Beliau
pula yang pertama kali menciptakan huruf pegon atau tulisan arab
berbunyi bahasa Jawa. Dengan huruf pegin ini beliau dapat menyampaikan
ajaran-ajaran Islam kepada para muridnya. Hingga sekarang huruf pegon
tetap diapaki sebagai bahan pelajaran agama Islam dikalangan pesantren.
6. Penyelamat Aqidah
Sikap
Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat hati-hati, hal ini
didukung pleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut
dalam permusyawaratan para wali di mesjid Agung Demak. Pada waktu itu
Sunan Kalijaga Mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan,
bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar
pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel. “Apakah tidak
mengkhawatirkan dikemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu
nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam, jika hal
ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?”
Dalam
musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel, “Saya
setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang
masih bisa diarahkan kepada ajaran Tauhid kita akan memberinya warna
Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus
kearah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan
wayang kulit kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera
masyarakat. Adapun tentang kekhawatiran kanjeng Sunan Ampel, saya
mempunyai keyakinan bahwa dibelakang hari akan ada orang yang
menyempurnakannya.
Adanya
dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya mengandung
hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar
agama Islam cepat diterima oleh orang jawa, dan hal ini terbukti,
dikarekan dua wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang
dapat ditolerir Islam maka penduduk jawa banyak yang berbondong-bondong
masuk agama Islam.
Sebaliknya,
adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan
dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki,
sehingga membuat umat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama
secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan
Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau telah
menyelamatkan aqidah umat agar tidak tergelincir kelembah kemusyrikan.
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah Barat Mesjid Ampel.
7. Murid-murid Sunan Ampel
Sebagaimana
disebutkan dimuka murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari
kalangan bangsawan dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan
rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota Wali Songo adalah murid-murid
beliau sendiri.
Kali ini kita tampilkan kisah dua orang murid Sunan Ampel yang makamnya tak jauh dari lokasi Sunan Ampel dimakamkan yaitu :
Kisah Mbah Soleh
Mbah Soleh adalah salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau keistimewaan luar biasa.
Adalah
sebuah keajaiban yang tak ada duanya, ada seorang manusia dikubur
hingga sembilan kali. Ini bukan cerita buatan melainkan ada buktinya.
Disebelah timur mesjid Agung Sunan Ampel ada sembilan kuburan. Itu bukan
kuburan sembilan orang tapi hanya kuburan satu orang yaitu murid Sunan
Ampel yang bernama Mbah Soleh.
Kisahnya
demikian, Mbah Soleh adalah seorang tukang sapu mesjid Ampel dimasa
hidupnya Sunan Ampel. Apabila menyapu lantai sangatlah bersih sekali
sehingga orang yang sujud di mesjid tanpa sajadah tidak merasa ada
debunya.
Ketika
Mbah Soleh wafat beliau dikubur didepan mesjid. Ternyata tidak ada
santri yang sanggup mengerjakan pekerjaan Mbah Soleh yaitu menyapu
lantai mesjid dengan bersih sekali. Maka sejak ditinggal Mbah Soleh
mesjid itu lantainya menjadi kotor. Kemudian terucaplah kata-kata Sunan
Ampel, bila Mbah Soleh masih hidup tentulah mesjid ini menjadi bersih.
Mendadak
Mbah Soleh ada dipengimaman mesjid sedang menyapu lantai. Seluruh
lantaipun sekarang menjadi bersih lagi. Orang-orang pada terheran
melihat Mbah Soleh hidup lagi.
Beberapa
bulan kemudian Mbah Soleh wafat lagi dan dikubur disamping kuburannya
yang dulu. Mesjid menjadi kotor lagi, lalu terucaplah kata-kata Sunan
Ampel seperti dulu. Mbah Soleh pun hidup lagi. Hal ini berlangsung
beberapa kali sehingga kuburannya ada delapan. Pada saat kuburan Mbah
Soleh ada delapan Sunan Ampel meninggalkan dunia. Beberapa bulan
kemudian Mbah Soleh meninggal dunia sehingga kuburan Mbah Soleh ada
sembilan. Kuburan yang terakhir berada di ujung sebelah timur.
Kisah Mbah Sonhaji
Mbah
Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya? Ini bukan gelar
kosong atau sekedar olok-olokan. Beliau adalah salah seorang murid Sunan
Ampel yang mempunyai karomah luar biasa.
Kisahnya
demikian, pada waktu pembangunan mesjid Agung Ampel Mbah Sonhaji lah
yang ditugasi mengatur tata letak pengimamannya. Mbah Sonhaji bekerja
dengan tekun dan penuh perhitungan, jangan sampai letak pengimaman
mesjid tidak menghadap arah kiblat. Tapi setelah pembangunan pengimaman
itu jadi banyak orang yang meragukan keakuratannya.
Apa betul letak pengimaman mesjid ini sudah menghadap ke kiblat? Demikian tanya orang meragukan pekerjaan Mbah Sonhaji.
Mbah
Sonhaji tidak menjawab, melainkan melubangi dinding pengimaman sebelah
barat lalu berkata, lihatlah kedalam lubang ini, kalian akan tahu apakah
pengimaman ini sudah menghadap kiblat atau belum?.
Orang-orang
itu segera melihat kedalam lubang yang dibuat oleh Mbah Sonhaji.
Ternyata didalam lubang itu mereka dapat melihat Ka’bah yang berada di
Mekah. Orang-orang ada melongo, terkejut, kagum dan akhirnya tak berani
meremehkan Mbah Sonhaji lagi. Dan sejak itu mereka bersikap hormat
kepada Mbah Sonhaji dan mereka memberinya julukan Mbah Bolong.
SUNAN GIRI
1. SYEKH MAULANA ISHAK
Di
awal abad 14 M, kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Mena Sembuyu,
salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja
dan rakyatnya memeluk agam Hindu dan sebagian ada yang memeluk agama
Budha.
Pada
suatu hari Parbu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya
pasalnya puteri mereka satu-satunya jatuh selama beberapa bulan. Sudah
diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang puteri
belum sembuh juga.
Memang
pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda wabah penyakit.
Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad tanah jawa esok
sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka dan hampir
semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
Atas
saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu mengadakan sayembara, siapa yang
dapat menyembuhkan puterinya akan diambil menantu dan siapa yang dapat
mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau
Raja Muda. Sayembara disebar hampir keseluruh pelosok negeri. Tapi
sudah berbulan-bulan tidak juga ada yang dapat memenangkan sayembara
tersebut.
Permaisuri
makin sedih hatinya, prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur isterinya
dengan menugaskan Patih Baju Sengara untuk mencari pertapa sakti guna
mengobati penyakit puterinya.
Diiringi
beberapa prajurit pilihan, Patih Baju Sengara berangkat melaksanakan
tugasnya. Para pertapa biasanya tinggal dipuncak lereng-lereng gunung,
maka kesanalah tujuan Patih Bajul Sengara.
Patih
Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan Resi Kandabaya yang mengetahui
adanya tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksud adalah
Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi
dinegeri Blambangan.
Patih
Bajul Sengara bertemu dengan Syekh Maulana Ishak yang sedang
bertafakkur disebuah goa. Syekh Maulana Ishak mau mengobati puteri Prabu
Menak Sembuyu dengan syarat Prabu mau masuk atau memeluk agama Islam.
Syekh Maulana Ishak memang piawai dibidang ilmu kedokteran, puteri Dewi
Sekar Dadu sembuh sekali diobati. Wabah penyakit juga lenyap dari
wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishak
dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Kemudian diberi kedudukan sebagai
Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.
2. Hasutan Sang Patih
Tujuh
bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan,
makin hari semakin bertambah banyak penduduk Blambangan yang memeluk
agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya
mempengaruhi sang prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu
Menak Sembuyu jadi panas mengetahui hal ini.
Patih
Bajul Sengara sendiri sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teroe
pada pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang
dipimpin Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali pada
agama lama.
Pada
saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak
sadar bila diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya
tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka
dia segera pamit kepada isterinya untuk meninggalkan Blambangan.
Akhirnya,
pada tengah malam dengan hati yang berat karena harus meninggalkan
isteri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat
meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan besar
prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk
wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak.
Dua
bulan kemudian dari rahim Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok
rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa
senagn dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan
itu. Bayi itu lain daripada yag lain, wajahnya mengeluarkan cahaya
terang.
Lain
halnya dengan Patih Bajul Sengara, dibiarkannya bayi itu mendapat
limpahan kasih sayang keluarganya selama empat puluh hari. Sesudah itu
dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah
penyakit berjangkit kembali di Blambangan, maka Patih baju Sengara
berulah lagi..
Bayi
itu! Benar Gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencan
dikemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal
diBlambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa
bayi itu! Kilah patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.
Sang
Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia
terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu. Namun sang Patih tiada
bosan-bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan keji yang akhirnya
sang Prabu terpengaruh juga.
Walau
demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu
secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan
kedalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke samudera.
3. Joko Samudra
Pada
suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi selat Bali.
Ketika perahu itu berada ditengah-tengah selat Bali tiba-tiba terjadi
keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundurpun tak
bisa.
Nahkota
memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan ini,
meungkinkah perahunya membentur karang. Setelah diperiksa ternyata
perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah, seperti peti milik
kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga. Nahkoda
memerintahkan mengambil peti itu. Semua orang terkejut karena didalamnya
terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan rupawan. Nahkoda
merasa gembira menyelamatkan jiwa si bayi mungil itu, tapi juga mengutuk
orang yang tidak berprikemanusiaan.
Nahkoda
kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke pulau
Bali. Tapi perahu tidak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan
digerakkan kearah Gresik ternyata perahu itu melaju dengan cepatnya.
Dihadapan
Nyai Ageng Pinatih janda kaya raya pemilik Kapal Nahkoda berkata sambil
membuka peti itu. Peti inilah yang menyebabkan kami kembali ke Gresik
dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau
Bali, kata sang nahkoda.
Bayi…? Bayi siapa ini ? gumam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti.
Kami menemukannya di tengah samudera selat Bali, jawab nahkoda kapal.
Bayi
ini kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil
sebagai anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan seorang anak.
Karena bayi ini ditemukan di tengah smudera maka Nyai Ageng Pinatih
kemudian memberinya nama Joko Samudra.
Ketika
berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samudra untuk
berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut
beberapa sumber mula pertama Joko Samudra setiap hari pergi ke Surabaya
dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar
anak itu mondok saja dipesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi
dalam mempelajari agama Islam.
Pada
suatu malam, seperti biasanya Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu
guna melaksanakan sholat Tahajjud, mendoakan muridnya dan mendoakan umat
agar selamat di dunia dan di akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat
menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.
Tiba-tiba
Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang
santrinya. Selama beberpa saat beliau tertegun, sinar terang itu
menyilaukan mata. Untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar
itu maka Sunan ampel memberi ikatan pada sarung murid itu.
Esok harinya, sesudah sholat subuh Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
Siapakah diantara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan? Tanya Sunan Ampel.
Saya Kanjeng Sunan…..ujar Joko Samudra.
Melihat
yang mengacungkan tangan adalah Joko Samudra, Sunan Ampel makin yakin
bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu
Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samudra, kesempatan itu
digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko
Samudra.
Nyai
Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samudra ditemukan
ditengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk
membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi dirumah Nyai
Ageng Pinatih.
Teringat
pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka
Sunan Ampel kemudian mengusulkan Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu
diganti menjadi Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata
Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada wali besar yang dihormati
masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.
4. Raden Paku
Sewaktu
mondok dipesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat
dengan putera Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya
bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Setelah
berusia 16 tahu, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba ilmu
pengetahuan yang lebih tinggi di negeri seberang sambil meluaskan
pengetahuan.
Di
negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada
ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandung yang
nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah
ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para
santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak
bagi kehidupanmu di masa yang akan datang.
Pesan
itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu
sampai di negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan
bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah
melihat anaknya sejak bayi.
Raden
Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan ditengah
samudera dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan
berguru pada Sunan Ampel di Surabaya.
Sebaliknya
Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat
berdakwah di Blambangan sehingga dipaksa harus meninggalkan isteri yang
sangat dicintainya.
Raden
Paku menangis sesegukan mendengar kisah itu. Bukan menangis kemalangan
dirinya yang disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi
memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah
ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Di
negeri Pasai banyak ulama besar dari negeri asing yang menetap dan
membuka pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat, hal ini tidak
disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda
itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri
maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada
yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai Ilmu Laduni yaitu ilmu
yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah
tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari
ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Bagdad dan Gujarat yang banyak menetap di
negeri Pasai.
Ilmu
yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden Paku dalam
perilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia mempunyai ilmu
tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya dimiliki ulama yang berusia
lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya gelar Syekh
Maulana Ainul Yaqin.
Setelah
tiga tahun berada di pusat Pasai. Dan masa belajarnya itu sudah
dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan
kembali ke tanah jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan
kain putih berisi tanah.
Kelak,
bila tiba masanya dirikanlah pesantren di Gresik, carilah tanah yang
sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau membangun
pesantren, demikianlah pesan anahnya.
Kedua
pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala
pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintahkan Makdum
Ibrahim berdakwah di Tuban, sedangkan Raden Paku diperintah pulang ke
Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih.
5. Membersihkan Diri
Pada
usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang
dagangan ke pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan
senang hati. Nahkoda kapal diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu
Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai
Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan
dagangan di Pulau Banjar.
Tiga
buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan.
Biasanya, sesudah dagangan itu habis terjual di Pulau Banjar maka Abu
Hurairah diperintah membawa barang dagangan dari pulau Banjar yang
sekiranya laku di pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas dan lain-lain.
Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda, tapi
kali tidak, sesudah kapal merapat dipelabuhan Banjar, Raden paku
membagi-bagikan barang dagangannya dari Gresik itu secara gratis kepada
penduduk setempat.
Tentu
saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes
tindakan Raden Paku, Raden….kita pasti akan mendapat murka Nyai Ageng
Pinatih. Mengapa barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?
Jangan
kuatir paman, kada Raden Paku. Tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk
Banjar saat ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan
kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan
dari mereka, sudahkah ibu memberikan hartanya dengan membayar zakat
kepada mereka? Saya kira belum, nah sekaranglah saatnya ibu mengeluarkan
zakat untuk membersihkan diri.
Itu
diluar wewenang saya Raden, kata Abu Hurairah. Jika kita tidak
memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng
dihantam gelombang dan badai?
Raden
Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan habis
biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan barang
dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang dengan apa dagangan
pulau Banjar akan dibeli.
Paman
tak usah risau, kata Raden Paku dengan tenangnya. Supaya kapal tidak
oleng isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir.
Memang
benar, mereka dapat berlayar hingga dipantai Gresik dalam keadaan
selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan
meninggalkan kapal untuk bertemu dengan Nyai Ageng Pinatih.
Dugaan Abu Hurairah benar. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal.
Sebaiknya ibu lihat dulu pinta Raden Paku.
Sudah, jangan banyak bicara. Buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung kita saja hardik Nyai Ageng Pinatih.
Tapi
ketika awak kapal membuka karung-karung itu mereka terkejut.
Karung-karung itu isinya menjadi barang-barang dagangan yang biasa
mereka bawa dari banjar, seperti rotan, damar , kain dan emas serta
intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang dagangan yang
disedekahkan kepada penduduk Banjar.
6. Perkawinan Raden Paku
Al-kisah
ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul ia
mempunyai sebuah pohon delima yang aneh didepan rumahnya. Setiap kali
ada orang yang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti
mengalami nasib celaka, kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah
orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa sengaja
lewat didepan pekarangan Ki Ageng Supa Bungkul. Begitu ia berjalan
dibawah pohon delima tiba-tiba pohon itu jatuh mengenai kepala Raden
Paku.
Ki Ageng Bungkul pun tiba-tiba muncul dan mencegat Raden Paku dan ia berkata, kau harus kawin dengan puteriku Dewi Wardah.
Memang,
Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat
memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan
puterinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal
itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel.
Tak
usah bingung, Ki Ageng Bungku adalah serang muslim yang baik. Aku yakin
Dewi Wardah juga seorang muslimah yang baik. Karena hal itu menjadi
niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu.
Demikian kata Sunan Ampel.
Tapi…….bukankah saya hendak menikah dengan puteri Kanjeng Sunan Yaitu dengan Dewi Murtasiah ujar Raden Paku.
Tidak
mengapa? Kata Sunan Ampel. Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi
Murtasiha selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan dengan Dewi
Wardah.
Itulah
liku-liku perjalan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali.
Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkuk
seorang bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat baik
di Surabaya.
Sesudah
berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar
pulau. Sambil berlayar itu beliau menyiarkan agama Islam pada penduduk
setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan nusantara.
Lama-lama
kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya, ia ingin
berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok
pesantren. Ia pun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia
perdagangan.
Nyai
Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan, andaikata hartanya
yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya
tiada akan habis, terlebih juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai
Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan
perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang
hendak mendirikan pesantren.
Mulailah
Raden Paku bertafakkur digoa yang sunyi, 40 hari 40 malam beliau tidak
keluar goa. Hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur
itu hingga sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan Kebomas.
Usai
bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar
di negeri Pasai. Dia pun berjalan berkeliling daerah yang tanahnya mirip
dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai.
Melalui
desa Margonoto, sampailah Raden Paku didaerah perbukitan yang hawanya
sejuk, hatinya terasa damai, ia pun mencocokkan tanah yang dibawanya
dengan tanah ditempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti
itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu adalah
dataran tinggi atau gunung maka dinamakanlah Pesantren Giri. Giri dalam
bahasa sansekerta artinya gunung.
Atas
dukkungan isteri-isteri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan
ampel, tidak begitu lama hanya dalam waktu tiga tahun pesantren Giri
sudah terkenal ke seluruh nusantara.
Menurut
Dr.H.J. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke
negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan
diatas bukit di Gresik dan ia menjadi orang pertama yang paling
terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Diatas gunung tersebut
seharusnya ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri
Kedatin (Kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala
penjuru, seperti Maluku, Madura, Lomnok, Makasar, Hitu dan Ternate.
Demikian menurut De Graaf.
Menurut
babad tanah jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir
diseluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina
dan lain-lain. Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai
ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping
pesantrennya yang besar ia juga membangun mesjid sebagai pusat ibadah
dan pembentukan iman umatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh
beliau juga membangun asrama yang luas.
Disekitar
bukti tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk
dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri
masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber
air itu sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu
melakukannya.
7. Peresmian Mesjid Demak
Dalam
peresmian mesjid Demak Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan
pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang
beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.
Usul
Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar
manusia haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.
Jika
sunan Kalijaga mengusulkan peresmian mesjid Demak dengan membuka
pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul
boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan
agar mesjid Demak diresmikan pada saat hari Jum’at sembari melaksanakan
Sholat jamaah Jum’at.
Sunan
Kalijaga berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri.
Sebelum Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga
gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi, lebih mirip
karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.
Sunan
Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan Sidang para wali. Keran
tidak bisa disebut gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri menyetujui
wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah.
Perubahan
bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri. Karena
itu Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu.
Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang
Hyang Girinata yang arti sebenarnya adalah sunan Giri yang menata.
Maka
perdebatan tentang peresmian mesjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu
akan diawali dengan sholat jum’at kemudian diteruskan dengan
pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan oleh ki dalang Sunan Kalijaga.
8. Jasa-jasa Sunan Giri
Jasa yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di tanah jaw bahkan ke nusantara.
Beliau
pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang
wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan
meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya. Dengan
demikian sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang
bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal jama’ah.
Keteguhannya
dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak
positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah
Islam sesuai ajaran Nabi tanpa dicampuri dengan adat istiadat lama.
Di
dalam kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama
kali menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang menciptakan
tembang dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain:
jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan Delikan.
Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan :
“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang gilar-gilar,
Nundhung begog hangetikar.”
(malam
terang bulan, marilah lekas bermain, bermain dihalaman, mengambil
dihalaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang
lari terbirit-birit)
Maksud dari lagu dolanan padhang bulan ;
Agama
Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan,
dimuka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang
lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
9. Para Pengganti Sunan Giri
Sunan
Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1412 M, memerintah kerajaan Giri
kurang lebih 20 tahun. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar
Prabu Satmata.
Pengaruh
Sunan giri sangatlah besar terhadap kerajaan Islam di jawa maupun di
luar jawa. Sebagi buktinya adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seorang
hendak dinobatkan menjadi raja haruslah mendapat pengesahan dari Sunan
Giri.
Giri
Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama 200 tahun. Sesudah Sunan
Giri meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu:
1. Sunan Dalem
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri
8. Pengeran Singosari
Pangeran
Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan
Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker.
Sesudah
pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri
Kedaton. Meski demikian kharisma Sunan Giri sebagai ulama besar wali
terkemuka tetap abadi sepanjang masa.
SUNAN BONANG
1. Asal usul Sunan Bonang
Dari
berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah
Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putera Sunan Ampel dan Dewi Condrowati
yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah puteri Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah puteri Raja Majapahit dan ayahnya menantu Raja Majapahit.
Sebagai
seorang wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se
tanah jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi.
Sejak kecil Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam
secara tekun dan disiplin.
Sudah
bukan rahasia bahwa latihan atau riadha para wali itu lebih berat
daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar,
maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.
Disebutkan
dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku
sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam ke tanah seberang
yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul
Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama
besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama tasawuf yang
berasal dari bagdad, Mesin, Arab dan Parsi atau Iran.
Sesudah
belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke
jawa. Raden paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri
sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempadan Surabaya.
2. Bijak dalam Berdakwah
Dalam
berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat
untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang
disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian
tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak timbulah suara
yang merdu di telinga penduduk setempat.
Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat
musik itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa seni
yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat
bagi pendengarnya.
Setiap
Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang
datang ingin mendengarnya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin
belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan
Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang
dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya
tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.
Tembang-tembang
yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan
ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari
agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.
Murid-murid
Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban,
Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering
mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar
Sunan Bonang.
3. Karya Satra
Beliau
juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya
sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya sastra yang sangat
hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang
disimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Suluk
berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan
(tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang
biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan
bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut wirid.
4. Kuburnya ada dua
Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.
Berita
segera disebarkan ke seluruh tanah jawa. Para murid berdatangan dari
segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan yang
terakhir.
Murid-murid
yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan beliau di Pulau Bawean.
Tetapi murid yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenasah
beliau dimakamkan di dekat ayahnya yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam
hal memberikan kain kafan pembungkus jenasah mereka pun tak mau kalah.
Jenasah yang sudah dibungkus dengan kain kafan milik orang bawean masih
ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.
Pada
malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep
untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut
jenasah Sunan Bonang kedalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena
tindakannya tergesa-gesa kain kafan jenasah tertinggal satu.
Kapal
layar segera bergerak ke arah Surabaya, tetapi ketika berada diperairan
Tuban tiba-tiba kapal yang dipergunakan tidak bisa bergerak akhirnya
jenasah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu sebelah barat Mesjid
Jami’ Tuban.
Sementara
kain kafannya yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenasahnya.
Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh khidmat.
Dengan
demikian ada dua jenasah Sunan Bonang, inilah karomah atau kelebihan
yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan
diantara murid-muridnya.
Sunan
Bonang wafat pada tahun 1525 M. Makam yang dianggap asli adalah yang
berada dikota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak yang
diziarahi orang dari segala penjuru tanah air.
SUNAN KALIJAGA
1. Diusir dari Kadipaten
Tumenggung
Wilakita seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan
Ranggawale yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk
agama Islam.
Sejak
kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama
Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan
yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said
berontak.
Gelora
jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek
oknum pejabat kadipaten Tuban disaat menarik pajak pada penduduk atau
rakyat jelata.
Rakyat
yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim
kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang
kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari
kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi
musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak.
Walau
Raden Said putera seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan bebas,
yang tidak terikat adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul
dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang
paling bawah hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang
supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban.
Niat
untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya.
Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula
posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niatnya itu
tidak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di
dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur’an maka
sekarang dia keluar rumah.
Di
saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil
sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke
Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat
membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.
Tentu
saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang
menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa
gerangan yang memberikan rezeki itu karena Raden Said melakukannya
dimalam hari secara sembunyi-sembunyi.
Bukan
hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit
itu. Penjaga gudang kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit
karena makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan
Majapahit itu semakin berkurang.
Ia
ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang
itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah
rumah tak jauh dari gudang kadipaten.
Dugaannya
benar, ada seseorang yang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip
penjaga gudang itu memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya
pencuri itu adalah Raden Said putera junjungannya sendiri.
Untuk
melaporkannya sendiri kepada adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir
dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang
saksi dari sang adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil
bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden
Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan.
Ketika ia hendak keluar adari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan
tiga orang prajurit kadipaten menangkapnya, beserta barang bukti yang
dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan ayahnya.
Adipati
Wilatikta marah melihat perbuatan anaknya itu. Raden Said tidak
menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak
disetorkan ke Majapahit.
Tapi
untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri
itu baru pertama kali dilakukannya maka ia hanya mendapat hukuman cambuk
dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari,
tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah
diterimanya?
Sesudah
keluar dari hukuman dia benar-beanr keluar dari lingkungan istana. Tak
pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan
Raden Said selanjutnya?
Dia
mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok
harta orang-orang kaya di kabupaten tuban. Terutama orang kaya yang
pelit dan para pejabat yang curang.
Harta
hasil rampokan itu diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang
yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya itu mencapai titik
jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.
Ada
seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said
menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin perampok itu mengenakan
pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng
seperti Raden Said juga.
Pada
suatu malam Raden Said baru saja menyelesaikan sholat isya mendengar
jerit tangis para penduduk desa kampunya sedang djarah perampok.
Dia
segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan
Raden Said kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri.
Tinggal pemimpin mereka yang sedang asik memperkosa seorang gadis
cantik.
Raden
Said mendobrak pintu rumah sigadis yang sedang diperkosa. Didalam
sebuah kamar dia melihat seorang berpakaian seperti dirinya, juga
mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembaili.
Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis tersebut.
Raden
Said berusaha menangkap perampok itu namun pemimpin perampok itu
berhasil melarikan diri. Mendadak terdenganr suara kentongan dipukul
bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada
saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menangkap
erat-erat tangan Raden Said. Raden Said jadi panik dan kebingungan. Para
pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden
Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala
desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said.
Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepada desa
menjadi terbungkam. Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu
adalah putera junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat
pada saat itu, Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis
yang diperkosa adalah bukti dan saksi hidup atas kejadian itu.
Sang
kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam ia
membawa Raden Said ke istana kadipaten tuban tanpa sepengetahuan orang.
Tentu saja sang adipati jadi murka. Raden Said di usir dari wilayah kadipaten tuban.
Pergi
dari kadipaten tuban ini! Kau telah mencoreng nama baik keluargamu
sendiri, pergi! Jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan
dinding-dinding istana kadipaten tuban ini dengan ayat-ayat Al-Qur’an
yang sering kau baca di malam hari.
Sang
adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said
yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya ternyata telah menutup
kemungkinan ke arah itu, sirna sudah segala harapan sang adipati.
Hanya
ada satu orang yang dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi
Rasawulan, adik Raden Said itu berjiwa luhur dan sangat tidak mungkin
melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya
itu merasa kasihan tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan
istana kadipaten tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.
2. Mencari Guru Sejati
Kemanakah
Raden Said sesudah diusir dari kadipaten tuban, ternyata ia mengembara
tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap dihutan Jatiwangi. Selama
bertahun-tahun ia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok
budiman? Karena hasil rampokkannya itu tak pernah dimakannya. Seperti
dahulu, selalu diberikan kepada fakir miskin.
Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya kikir, tidak menyantuni rakyat jelata. Dan tidak mau membayar zakat.
Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya dengan Brandal Lokajaya.
Pada
suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat hutan Jatiwangi. Dari jauh
Brandal lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa tongkat yang
gagangnya berkilauan.
Terus
diawasinya orang tua berjubang putih itu. Setelah dekat dia hadang
langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan
lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka
orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan
susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau
tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang
mengamati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan
terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga
berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran
melihat orang tua itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu.
Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.
Bukan
tongkat ini yang kutangisi ujar lelaki itu sembari memperlihatkan
beberapa batang rumput ditangannya. Lihatlah ! aku telah berbuat dosa,
berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur
tadi.
Hanyam beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa? Tanya Raden Said heran.
Ya,
memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa sesuatu keperluan.
Andaikata kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk
sesuatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa jawab lelaki itu.
Hari Raden Said bergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari dihutan ini?
Saya menginginkan harta?
Untuk apa?
Saya
berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita,.. hem…sungguh
mulia hatimu, sayang…caramu mendapatkannya yang keliru.
Orang tua….apa maksudmu?
Boleh
aku bertanya anak muda? Desah orang tua itu. Jika kau mencuci pakaianmu
yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?
Sungguh perbuatan bodoh sahut Raden Said. Hanya menambah kotor dan bau pakaian saja.
Lelaki
itu tersenyum, demikianlah amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan
barang yang didapat secara haram atau mencuri itu sama halnya dengan
mencuci pakaian dengan air kencing.
Raden
Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya. Allah itu adalah zat
yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal.
Raden
Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai
menghujam lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini.
Dipandangnya sekali lagi wajah lelaki tua itu. Agung dan berwibawa namun
mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik
dengan lelaki tua berjubah putih tersebut.
Banyak
hal yang terkait dengan usaha mengentaskan kemiskinan dan penderitaan
rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi
bantuan makan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus
memperingatkan pada penguasa yang zalim agar mau mengubah caranya
memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat
agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya.
Raden
Said semakin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama
ini. Kalau kau tak mau kerja keras dan hanya ingin beramal dengan cara
yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!
Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika itu pohon berubah menjadi emas.
Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti
dan banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang
aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu
sihir. Kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat
mengatasinya.
Tapi
setelah mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas.
Berarti orang tua itu tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar merasa
heran dan penasaran, ilmu apakah yang telah dipergunakan orang tua itu
sehingga mampu merubah pohon menjadi emas.
Raden
Said terdiam beberapa saat ditempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat
pohon aren itu. Benar-benar berubah jadi emas seluruhnya. Ia ingin
mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu.
Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said.
Pemuda itu jatuh terjerembab ke tanah roboh dan pingsan.
Ketika
sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah menjadi hijau seperti
aren-aren yang lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang tua
berjubah putih tadi. Tapi yang dicari nya sudah tidak ada ditempat.
Ucapan
orang tua tadi masih terngiang ditelinganya. Tentang beramal dengan
barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing.
Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.
Raden
Said mengejar oarang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari
cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang tua itu dari kejauhan.
Sepertinya
santai saja orang itu melangkahkan kakinya tapi Raden Said tak pernah
bisa menyusulnya. Jatuh bangun terseok-seok dan berlari lagi,
demikianlah setelah tenaganya habis terkuras dia baru bisa sampai
dibelakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki
berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said
melainkan didepannya terbentang sungai cukup lebar. Tak ada jembatan dan
sungai itu tampaknya sangat dalam dengan apa dia harus menyeberang.
Tunggu……, ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.
Sudilah kiranya tuan menerima saya sebagai murid…..pintanya.
Menjadi muridku? Tanya orang tua itu sembari menoleh. Mau belajar apa?
Apa saja, asal tuan manerima saya sebagai murid….
Berat, berat sekali anak muda, bersediakah engkau menerima syarat-syaratnya?
Saya bersedia….
Lelaki
itu kemudian menancapkan tongkatnya ditepi sungai. Raden Said
diperintah menunggui tongkat itu. Tak boleh beranjak dari tempat itu
sebelum orang tua itu kembali menemuinya.
Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya
lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak
heran, lelaki itu berjalan diatas air bagaikan berjalan di daratan saja.
Kakinya tidak basah terkena air, ia semakin yakin calon gurunya itu
adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin saja golongan
para wali.
Setelah
lelaki tuan itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda ini duduk
bersila dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya didalam Al-Qur’an
yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa kepada Tuhan supaya
ditidurkan seperti para pemuda di goa kahfi ratusan tahun yang silam.
Doanya
dikabulkan. Raden Said tertidur dalam semedinya selama tiga tahun. Akar
dan rerumputan telah merambati tubuhnya dan hampir menutupi sebagian
besar anggota tubuhnya.
Setelah
tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi
Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan adzan
pemuda itu membuka sepasang matanya.
Tubuh
Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian
dibawa ke tuban mengapa dibawa ke tuban? Karena lelaki berjubah putih
itu adalah sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama
sesuai dengan tingkatannya yaitu tingkat para waliyullah. Dikemudian
hari Raden Said terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.
Kalijaga
artinya orang yang menjaga sungai, karena dia pernah bertapa ditepi
sungai. Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran
kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak
membahayakan umat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar.
Ada
juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang
hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa
tongkat atau pegangan hidup., itu artinya Sunan Bonang selalu membawa
agama, membawa iman sebagai petunjuk jalan kehidupan.
Raden
Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu
artinya Raden Said diperintah untuk terjun kedalam kancah masyarakat
jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada
agama lama yaitu Hindu dan Budha.
Sunan
Bonang mampu berjalan diatas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai.
Bahkan tidak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang
dapat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan
identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.
3. Kerinduan Seorang Ibu
Setelah
bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta
seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usah adipati tuban
menangkap para perampok yang mengacau kadipaten tuban membuahkan hasil.
Hati ibu Raden Said seketika terguncang.
Kebetulan
saat ditangkap oleh prajurit tuban, kepala perampok itu mengenakan
pakaian dan topeng yang persis dengan yang dikenakan oleh Raden Said.
Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari
pengakuan perampok itu tahulah adipati tuban bahwa Raden Said tidak
bersalah.
Ibu
Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal
mengusir anak yang sangat disayanginya itu, sang ibu tak pernah tau
bahwa anak yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah kembali
ke tuban. Hanya saja tidak langsung ke istana kadipaten tuban, melainkan
ke tempat tinggal Sunan Bonang.
Untuk
mengobati kerinduan sang ibu, tidak jarang Raden Said mengerahkan
ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an jarak jauh lau suaranya
dikirim ke istana tuban.
Suara
Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding istana
kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati adipati tuban dan isternya.
Tapi Raden Said, masih belum menampakkan dirinya. Banyak tugas yang
masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali. Pada
akhinya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak
terkirakan betapa bahagianya adipati tuban dan isterinya menerima
kedatangan putera-puterinya yang sangat dicintainya itu.
Karena
Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya akhirnya
kedudukan adipati tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putera
Dewi Rasawulan dan Empu Supa.
Raden
Said meneruskan pengembaraannya, berdakwah atau menyebarkan agama Islam
di jawa tengah hingga ke jawa barat. Beliau sangat arif dan bijaksana
dalam berdakwah sehingga dapat ditermia dan dianggap sebagai guru suci
se tanah jawa. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat
tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di
Kadilangu, Demak. Semoga amal perjuangan nya diterima di sisi Allah.
SUNAN DRAJAD
1. Asal Usul
Nama asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putera Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.
Raden Qosim yang sudah mewarisi ilmu dari ayahnya kemudian diperintah untuk berdakwah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban dan Gresik.
Raden Qosim memulai perjalanannya dengan naik perahu dari Gresik sesudah singgah ditempat Sunan Giri.
Dalam perjalanan ke arah Barat itu perahu beliau tiba-tiba dihantam
oleh ombak yang besar sehingga menabrak karang dan hancur. Hampir saja
Raden Qosim kehilangan jiwanya. Tapi bila Tuhan belum menentukan ajal
seseorang biar bagaimanapun hebatnya kecelakaan pasti dia akan selamat,
demikian pula halnya dengan Raden Qosim. Secara kebetulan seekor ikan
besar yaitu ikan talang datang kepada Raden Qosim dan beliau pun menaiki
punggung ikan tersebut hingga selamat ke tepi pantai. ..... silahkan
dilanjutkan bacanya
Raden
Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau juga
berterima kasih kepada ikan talang yang telah menolongnya sampai ke tepi
pantai. Untuk itu beliau berpesan kepada anak keturunan beliau untuk
tidak memakan daging ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan
mengakibatkan bencana, yaitu ditimpa penyakit yang tiada obatnya lagi.
Ikan
talang tersebut membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang termasuk
wilayah desa Jelag (sekarang termasuk desa Banjarwati), kecamatan
Paciran. Di tempat itu Raden Qosim disambut masyarakat dengan antusias,
lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden Qosim adalah putera Sunan Ampel seorang wali besar dan masih terhitung kerabat kerajaan Majapahit.
Di
desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan pesantren, karena caranya
menyiarkan agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang datang
berguru kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim
mendapat ilham supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 km
disana beliau mendirikan langgar atau surau untuk berdakwah.
Tiga
tahun kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar membangun
tempat berdakwah yang strategis yaitu ditempat ketinggian yang disebut
Dalem Duwur. Di bukit yang disebut Dalem Duwur itulah yang sekarang
dibangun Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di
sebelah barat Museum tersebut.
Raden Qosim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri.
Artinya dalam berdakwah menyebarkan agama Islam beliau menganut jalan
lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus diamalkan dengan lurus
dan benar sesuai ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur dengan adat dan
kepercayaan lama.
Meski
demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah,
didalam museum yang terletak disebelah timur makamnya terdapat
seperangkat bekas gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi
penghargaan Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.
Dalam
catatan sejarah wali songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang wali
yang hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau juga
rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang dermawan.
Dikalangan rakyat jelata beliau bersifat lemah lembut dan sering
menolong mereka yang menderita.
2. Ajaran Sunan Drajad yang Terkenal
Ajaran Sunan Drajad bersumber dari :
1. Al-Quran
2. Sunnah
3. Ijma
4. Qiyas
5. Ajaran guru dan pendidik seperti Sunan Ampel
6. Ajaran dan pemikiran atau paham yang telah tersebar luas di masyarakat
7. Tradisi di masyarakat setempat yang telah ada yang sesuai dengan ajaran Islam, dan
8. Fatwa Sunan Drajad sendiri.
Diantara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kan luwe
Menehono busono marang wong kang mudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Artinya kurang lebih demikian :
Berilah tongkat kepada orang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan
Adapun
maksudnya adalah sebagai berikut: Berilah petunjuk kepada orang bodoh
(buta) Sejahterkanlah kehidupan rakyat yang miskin (kurang makan)
Ajarkanlah budi pekerti (etika) kepada yang tidak tahu malu atau belum
punya adab tinggi. Berilah perlindungan kepada orang-orang yang
menderita atau ditimpa bencana. Ajaran ini sangat supel, siapapun dapat
mengamalkannya sesuai dengan tingkat dan kemampuan masing-masing. Bahkan
pemeluk agama lainpun tidak berkeberatan untuk mengamalkannya.
Tentang puncak ma’rifat Sunan Drajad menuliskan perumpaannya sebagai berikut :
“Ilang, jenenge kawula,
Sirna datang ana keri,
Pan ilangwujudira,
Tegese wujude widi,
Ilang wujude iki,
Aneggih perlambangira,
Lir lintang karahinan,
Keserodotan sang hyang rawi,
Artinya:
Hilang jati diri makhluk,
Lenyap tiada tersisa,
Karena hilang wujud keberadaannya
Itulah juga wujud Tuhan,
Itulah yang ada ini,
Adapun persamaannya,
Seperti bintang diwaktu siang
Yang tersinari matahari.
Disamping
terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa dermawan dan sosial, beliau
jua dikenal sebagai anggota wali songo yang turut serta mendukung
dinasti Demak dan ikut pula mendirikan mesjid Demak. Simbol kebesaran
umat Islam pada waktu itu.
Dibidang
kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir beliau juga pertama kali
yang menciptakan Gending Pangkur, hingga sekarang gending tersebut
masih disukai rakyat jawa. Sunan Drajad demikian gelar Raden Qosim,
diberikan kepada beliau karena beliau bertempat tinggal di sebuah bukit
yang tinggi, seakan melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu
tingkat atau dejat para ulama muqarrobin. Ulama yang dekat dengan Allah
SWT.
SUNAN MURIA
1. Asal Usul Sunan Muria

Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya disebelah utara kota Kudus. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliau lah satu-satu wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
2. Sakti Mandraguna
Bahwa
Sunan Muria itu adalah wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan
dengan letak padepokannya yang terletak di atas gunung. Menuju ke makam
Sunan Muria pun perlu tenaga ekstra karena berada diatas bukit yang
tinggi.
Bayangkanlah,
jika sunan Muria dan isterinya atau dengan muridnya setiap hari harus
naik turun guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat, atau
berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu
tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat. Soalnya
menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat
tinggal Sunan Muria. Harus dengan jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria
memiliki kesaktian yang tinggi, demikian pula dengan murid-muridnya.
Bukti
bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan
dalam kisah perkawinan dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah puteri
Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena
ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.
Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau.
Pada
suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono
yang genap 20 tahun. Murid-muridnya diundang semua. Seperti : Sunan
Muria, Sunan Kudus, Adipati Pathak Warak, Kapa dan Adiknya Gentiri. Tetangga dekat jua diundang, demikian pula snak kadang yang dari jauh.
Setelah
tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya Dewi Roro Pujiwati keluar
menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik
jelita. Terutama Dewi Roroyono yang telah berusia 20 tahun, bagaikan
bunga yang sedang mekar-mekarnya.
Bagi Sunan Kudus
dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan pandangan
matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid
Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi
Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis itu.
Sewaktu
menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pthak Warak
belum menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar
kecantikannya yang mempesona, sekarang gadis itu benar-benar membuat
Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot
memandangi gadis itu terus menerus.
Karena
dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia
menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih
setelah lelaki itu bertindak kurang ajar.
Tentu
saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketiak lelaki itu berlaku
kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas
disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya
sengaja ditumpahkan ke pakaian sang adipati.
Pathak
Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu.
Apalagi dilihatnya para tamu undangan menertawakan kekonyolan itu,
diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat
bahwa gadis itu adalah puteri gurunya.
Roroyono masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak.
Malam
hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ketempatnya masing-masing. Tamu
dari jauh terpaksa menginap di rumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak
Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak
belum dapat memejamkan matanya.
Pathak
Warak kemudian bangkit dari tidurnya. Mengendap-ngendap ke kamar
Roroyono. Gadis itu diserepnya sehingga tidak sadarkan diri, kemudian
melalui genteng Pathak Warak masuk dan membawa lari gadis itu melalui
jendela. Dewi Roroyono dibaw alari ke Mandalika, wilayah Keling atau
Kediri.
Setelah
Sunan Ngerang mengetahui bahwa puterinya diculik oleh Pathak Warak,
maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa puterinya kembali
ke ngerang akan dijodohkan dengan puterinya itu dan bila perempuan akan
dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya.
Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak
Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memnuhi harapan Sunan Ngerang.
Saya akan berusaha mengambil Diajeng Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, kata Sunan Muria.
Tetapi
ditengah perjalan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik
seperguruan yang lebih dulu pulang sebelum acara syukuran berakhir.
Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju
arah daerah Keling.
Mengapa
kakang tampak tergesa-gesa? Tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan
penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak.
Kapa
dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan
yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan
Muria merebut kembali Dewi Roroyono.
Kakang
sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid kakang sangat
membutuhkan bimbingan. Biarlah kami berusaha merebut diajeng Dewi
Roroyono kembali. Kalau berhasil kakang tetap berhak mengawininya, kami
hanya sekedar membantu, kata kapa.
Aku masih sanggup untuk merebutnya sendiri, ujar Sunan Muria.
Itu
benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam lebih penting,
percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali, kata kapa
ngotot.
Sunan
Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya
tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia
harus menengok para santrinya di padepokan Gunung Muria.
Untuk
merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri
ternyata minta bantuan seorang Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat yang
dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang tandingannya. Usaha itu
berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.
Hari
berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan
usaha Kapa dan Gentiri. Ditengah jalan beliau bertemu dengan Adipati
Pathak Warak.
Hai Pathak Warak berhenti kau, bentak Sunan Muria.
Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti karena Sunan Muria menghadang didepannya.
Minggir!! Jangan menghalangi Jalanku, hardik Pathak Warak.
Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono !
Goblok!! Dewi Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri!! Kini aku hendak mengejar mereka!! Umpat Pathak Warak.
Untuk apa kau mengejar mereka?
Merebutnya kembali! Jawab Pathak Warak dengan sengit.
Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Dewi Roroyono telah dijodohkan denganku, ujar Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda.
Tanpa
basa basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangkak ke
arah Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia bukan
tandingan putera Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian.
Hanya
dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di
tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi
lumpuh, tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.
Sunan
Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut
gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan entiri telah bercerita jujur
bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria
mencari Dewi Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi
Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan pun segera
dilaksanakan.
Kapa
dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah tanah di desa Buntar.
Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang hidupnya serba
berkecukupan.
Sedang Sunan Muria memboyong isterinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup Bahagia, karena merupakan pasangan yang ideal.
Tidak
demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono
dari keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh
kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka tidak bisa tidur. Wajah
wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah
diperisteri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi.
Hanya penyesalan yang menghujam didada. Mengapa mereka dulu terburu-buru
menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah
payah sekarang menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan.
Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan
matanya dan menjaga kehotmatan (kemaluan) mereka.
Andaikata
Kapa dan Gentiri tidak memandang terus menerus kearah wajah dan tubuh
Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona dan tidak
terjerat oleh iblis yang memasang perangkap pada pandangan mereka.
Kini
Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki iblis. Mereka bertekad
hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah
sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai isteri bersama secara
bergiliran. Sungguh keji rencana mereka.
Gentiri
berangkat lebih dahulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak
melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid Sunan Muria, terjadilah
pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi
Gentiri, suasana menjadi semakin panas. Akhirnya gentiri tewas menemui
ajalnya di puncak Gunung Muria.
Kematian
Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut
niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke gunung Muria secara
diam-diam dimalam hari. Tak seorangpun yang mengetahuinya.
Kebetulan
pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang
bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyerep murid-murid Sunan Muria yang
berilmu rendah, yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian yang
dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita impiannya itu ke pulau
sprapat.
Pada
saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro. Sunan Muria bermaksud
mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat. Ini
biasanya dilakukannya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah
suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah meneolongnya merebut Dewi
Roroyono dari Pathak Warak.
Seperti ajaran Sunan Kalijaga
yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu
negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan agung. Bukannya
berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan
ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain
yang pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara sukarela.
Ternyata, kedatangan Kapa ke pulau Sparapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang Datuk.
Memalukan!
Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan isteri kakang
seperguruanmu sendiri itu! Hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.
Bapa Guru ini bagaiman, bukakah aku ini muridmu? Mengapa tidak kau bela? Protes Kapa.
Sampai matipun aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti walau pelakunya itu muridku sendiri !
Perdebatan
antara guru dengan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari
Sunan Muria sudah sampai ditempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria
melihat isterinya sedang tergolek ditanah dalam keadaan terikat kaki dan
tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya
yaitu Wiku Lodhang Datuk.
Begitu
mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa Langsung melancarkan serangan
dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju
Dewi Roroyono untuk membebaskan belenggu yang dilakukan Kapa.
Bersamaan
dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi
Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa.
Ternyata
serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik
menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu
membalikkan serangan lawan.
Karena Kapa menggunakan aji pamungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu itu akhirnya merenggut nyawanya sendiri.
Maafkan
saya tuan Wiku….,ujar Sunan Muria agak menyesal. Tidak mengapa.
Menyesal aku turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu
digunakan untuk jalan kejahatan, gumam Sang Wiku.
Bagaimanapun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak.
Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke Padepokan dan hidup bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar