Abul Qasim Al-Junaid Al-Baghdadi
Junaid
Al-Baghdadi (maqamnya gambar di sebelah) adalah seorang ulama sufi dan
wali Allah yang paling menonjol namanya di kalangan ahli-ahli sufi.
Tahun kelahiran Imam Junaid tidak dapat dipastikan. Tidak banyak dapat
ditemui tahun kelahiran beliau pada biografi lainnya. Beliau adalah
orang yang terawal menyusun dan memperbahaskan tentang ilmu tasauf
dengan ijtihadnya. Banyak kitab-kitab yang menerangkan tentang ilmu
tasawuf berdasarkan kepada ijtihad Imam Junaid Al-Baghdadi.
Imam
Junaid adalah seorang ahli perniagaan yang berjaya. Beliau memiliki
sebuah gedung perniagaan di kota Baghdad yang ramai pelanggannya.
Sebagai seorang guru sufi, beliau tidaklah disibukkan dengan menguruskan
perniagaannya sebagaimana setengah peniaga lain yang kaya raya di
Baghdad.
Waktu perniagaannya sering
disingkatkan seketika kerana lebih mengutamakan pengajian anak-anak
muridnya yang dahagakan ilmu pengetahuan. Apa yang mengkagumkan ialah
Imam Junaid akan menutup kedainya setelah selesai mengajar
murid-muridnya. Kemudian beliau balik ke rumah untuk beribadat seperti
solat, membaca al-Quran dan berzikir.
Setiap
malam beliau berada di masjid besar Baghdad untuk menyampaikan
kuliahnya. Ramai penduduk Baghdad datang masjid untuk mendengar
kuliahnya sehingga penuh sesak.
Imam Junaid
hidup dalam keadaan zuhud. Beliau redha dan bersyukur kepada Allah SWT
dengan segala nikmat yang dikurniakan kepadanya. Beliau tidak pernah
berangan-angan untuk mencari kekayaan duniawi dari sumber pekerjaannya
sebagai peniaga.
Beliau akan
membahagi-bahagikan sebahagian dari keuntungan perniagaannya kepada
golongan fakir miskin, peminta dan orang-orang tua yang lemah.
Abul
Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz an-Nihawandi adalah putera
seorang pedagang barang pecah belah dan keponakan dari Sari as-Saqathi.
Beliau adalah teman akrab al-Muhasibi yang merupakan penyebar besar
aliran “warans” sufisme. Beliau telah mengembangkan sebuah doktrin
theosofi yang mempengaruhi keseluruhan mitisisme ortodoks Islam.
Teorinya yang dijelaskannya secara terperinci dalam ajaran-ajarannya dan
dalam surat-suratnya kepada tokoh-tokoh semasanya masih dapat kita
temukan hingga saat ini. Beliau meninggal pada tahun 258 H/910M di
Baghdad, sebagai ketua dari sebuan aliran yang besar dan berpengaruh
luas.
MASA REMAJA JUNAID AL-BAGHDADI
Sejak
kecil Junaid sudah merasakan kegelisahan spiritual. Ia adalah pencari
Allah yang tekun, penuh disiplin, bijaksana, cerdas dan mempunyai
intuisi yang tajam. Pada suatu hari ketika kembali dari sekolah, Junaid
mendapatkan ayahnya sedang menangis.
“Apakah yang terjadi?”,tanya Junaid kepada ayahnya.
“Aku
ingin memberi sedekah kepada pamanmu, Sari, tetapi ia tidak mau
menerimanya”, ayahnya menjelaskan. ”Aku menangis karena seumur hidupku
baru sekarang inilah aku dapat mengumpulkan uang lima dirham, tetapi
ternyata pemberianku tidak pantas diterima oleh salah seorang sahabat
Allah”.
“Berikanlah uang itu kepadaku, biar aku yang akan
memberikannya kepada paman. Dengan cara ini tentu ia mau menerimanya”,
Junaid berkata.
Uang lima dirham itu diserahkan ayahnya dan berangkatlah Junaid ke rumah pamannya. Sesampainya di tujuan, ia mengetuk pintu.
“Siapakah itu?”, terdengar sahutan dari dalam
“Junaid”, jawabnya. "Bukalah pintu dan terimalah sedekah yang sudah menjadi hakmu ini”.
“Aku tidak mau menerimanya”, Sari menyahut.
“Demi
Allah yang telah sedemikian baiknya kepadamu dan sedemikian adilnya
kepada ayahku, aku meminta kepadamu, terimalah sedekah ini”, Junaid
berseru.
“Junaid, bagaimanakah Allah telah sedemikian baiknya kepadaku dan sedemikian adilnya kepada ayahmu?” Sari bertanya.
“Allah
berbuat baik kepadamu”, jawab Junaid , “Karena telah memberikan
kemiskinan kepadamu. Allah berbuat adil kepada ayahku karena telah
membuatnya sibuk dengan urusan-urusan dunia. Engkau bebas menerima atau
menolak sedekah, tetapi ayahku, baik secara rela maupun tidak, harus
mengantarkan sebagian harta kekayaannya kepada yang berhak menerimanya”.
Sari sangat senang mendengar jawaban itu.
“Nak, sebelum menerima sedekah itu, aku telah menerima dirimu”.
Sambil
berkata demikian Sari membukakan pintu dan menerima sedekah itu. Untuk
Junaid disediakannya tempat yang khusus di dalam lubuk hatinya.
ooo
Junaid
baru berumur tujuh tahun ketika Sari membawanya ke tanah suci untuk
menunaikan ibadah haji. Di Masjidil Haram, empat ratus syeikh sedang
membahas sikap syukur. Setiap orang di antara mereka mengemukakan
pendapatnya masing-masing.
“Kemukakan pula pendapatmu”, Sari mendorong Junaid. Maka berkatalah Junaid,.
“Kesyukuran
berarti tidak mengingkari Allah dengan karunia yang telah
dilimpahkan-Nya atau membuat karunia-Nya itu sebagai sumber keingkaran”.
“Tepat
sekali, wahai pelipur hati Muslim-muslim sejati”, keempat ratus syeikh
tersebut berseru. Semuanya sependapat bahwa definisi kesyukuran yang
dikemukakan Junaid itulah yang paling tepat.
Sari berkata kepada Junaid,
“Nak, tidak lama lagi akan kenyataanlah bahwa karunia yang istimewa dari Allah kepadamu adalah lidahmu”.
Junaid tidak sanggup menahan tangisnya ketika mendengar kata-kata pamannya itu.
“Bagaimanakah engkau memperoleh semua pengetahuan ini?”, Sari bertanya padanya.
“Dengan duduk mendengarkanmu”, jawab Junaid.
Junaid
lalu kembali ke Baghdad dan berdagang barang pecah belah. Setiap hari
ia menurunkan tirai tokonya dan melakukan shalat sunnat sebanyak empat
ratus raka’at. Belakangan hari, usaha itu ditinggalkannya dan ia
mengunci diri dalam sebuah kamar di rumah Sari. Di dalam kamar itulah ia
menyibukkan diri untuk menyempurnakan bathinnya, Dan di situ pula ia
membentangkan sajadah ketekunan sehingga tidak sesuatu hal pun selain
Allah yang terpikirkannya.
JUNAID DIUJI
Selama
empat puluh tahun Junaid menekuni kehidupan mistiknya. Tiga puluh tahun
lamanya, setiap selesai shalat Isa ia berdiri dan mengucapkan “Allah,
Allah” terus menerus hingga fajar, dan melakukan shalat Shubuh tanpa
perlu berwudhu’ lagi.
“Setelah empat puluh tahun berlalu,
Junaid berkisah, “Timbullah kesombongan di dalam hatiku, aku mengira
bahwa tujuanku telah tercapai. Segeralah terdengar olehku suara dari
langit yang menyeru kepadaku: ’Junaid, telah tiba saatnya bagi-Ku untuk
menunjukkan kepadamu sabuk pinggang Majusimu. Mendengar seruan itu aku
mengeluh: ’Ya Allah, dosa apakah yang telah dilakukan Junaid?’ Suara itu
menjawab: ’Apakah engkau hidup untuk melakukan dosa yang lebih besar
daripada itu?”
Junaid mengeluh menundukkan kepalanya.
“Apabila manusia belum patuh untuk menemui Tuhannya”, bisik junaid, “Maka segala amal baiknya adalah dosa semata”.
Junaid
lalu terus berdiam di dalam kamarnya dan terus menerus mengucapkan
“Allah, Allah” sepanjang malam. Tetapi lidah fitnah menyerang dirinya
dan tingkah lakunya ini dilaporkan orang kepada khalifah.
“Kita tidak dapat berbuat apa-apa kepada Junaid bila kita tak mempunyai bukti” jawab Khalifah.
Kebetulan
sekali-khalifah mempunyai seorang hamba perempuan berwajah sangat
cantik. Gadis ini telah dibelinya seharga tiga ribu dinar dan sangat
disayanginya. Khalifah memerintahkan agar hamba perempuannya itu
dipakaikan dengan pakaian yang gemerlapan dan didandani dengan batu-batu
permata yang mahal.
“Pergilah ke tempat Junaid”, khalifah
memerintahkan hamba perempuannya, “Berdirilah di depannya, buka cadar
dan perlihatkan wajahmu, permainkan batu-batu permata dan pakaianmu
untuknya. Setelah itu katakanlah kepada Junaid: ’Aku kaya raya tetapi
aku sudah jemu dengan urusan-urusan dunia. ’Aku datang kemari agar
engkau mau melamar diriku, sehingga bersamamu aku dapat mengabdikan diri
untuk berbakti kepada Allah. Hatiku tidak berkenan kepada siapa pun
kecuali kepadamu! Kemudian perlihatkan tubuhmu kepadanya. Bukalah
pakaianmu dan godalah ia dengan segenap daya upayamu”.
Ditemani
seorang pelayan ia diantar ke tempat Junaid. Si gadis menemui Junaid
dan melakukan segala daya upaya yang bahkan melebihi dari apa yang
diperintahkan kepadanya. Tanpa disengaja ia terpandang oleh Junaid.
Junaid membisu dan tak memberi jawaban. Si gadis mengulangi daya
upayanya dan Junaid yang selama itu tertunduk mengangkat kepalanya.
“Ah!”, serunya sambil meniupkan nafasnya ke arah si gadis. Si gadis terjatuh dan seketika itu juga menemui ajalnya.
Pelayan
yang menemaninya kembali ke hadapan khalifah dan menyampaikan segala
kejadian itu. Api penyesalan menyesak dada khalifah dan ia memohonkan
ampunan Allah karena perbuatannya itu.
“Seseorang yang
memperlakukan orang lain seperti yang tak sepatutnya akan menyaksikan
hal yang tak patut untuk disaksikannya”, khalifah berkata.
Khalifah bangkit dan berangkatlah ia untuk mengunjungi Junaid, “Manusia seperti Junaid tidak dapat dipanggil untuk
menghadapinya”, ia berkata.
Setelah bertemu dengan Junaid khalifah bertanya:
“Wahai guru, bagaimanakah engkau sampai hati membinasakan tubuh gadis yang sedemikian eloknya?”
“Wahai
pangeran kaum Muslim”, Junaid menjawab, “belas kasihmu kepada
orang-orang yang mentaatimu sedemikian besarnya, sehingga engkau sampai
hati untuk menginginkan jerih payahku selama empat puluh tahun
mendisiplinkan diri, bertirakat, menyangkal diri, musnah diterbangkan
angin. Tetapi apakah artinya diriku di dalam semua itu? janganlah engkau
lakukan sesuatu hal kepada orang lain apabila engkau sendiri tidak
menginginkannya!”
Setelah peristiwa itu nama Junaid menjadi
harum. Kemasyhuran terdengar ke seluruh penjuru dunia. Betapa pun
besarnya fitnah yang dilontarkan kepada dirinya, reputasinya berlipat
ganda seribu kali. Junaid mulai memberikan khotbah-khotbah. Ia pernah
menindaskan: “Aku tidak berkhotbah di depan umum sebelum tiga puluh
manusia suci menunjukkan kepadaku bahwa telah tiba saatnya aku menyeru
ummat manusia kepada Allah”.
“Selama tiga puluh tahun aku
mengawasi bathinku”, Junaid mengatakan, “Setelah itu selama sepuluh
tahun bathinku mengawasi diriku. Pada saat ini telah dua puluh tahun
lamanya aku tidak mengetahui sesuatu pun mengenai bathinku dan bathinku
tidak mengetahui sesuatu pun mengenai diriku”,
“Selama tiga
tahun”, Junaid melanjutkan, “Allah telah berkata-kata dengan Junaid
melalui lidah Junaid sendiri, sedang Junaid tidak ada dan orang-orang
lain tidak menyadari hal itu”.
JUNAID BERKHOTBAH
Ketika
lidah Junaid telah fasih mengucapkan kata-kata mulia, Sari as-Saqathi
mendesak bahwa Junaid berkewajiban untuk berkhotbah di depan umum.
Mula-mula Junaid enggan; ia tidak ingin melakukan hal itu.
“Apabila guru masih ada, tidaklah pantas bagi si murid untuk berkhotbah”, Junaid berkilah.
Kemudian pada suatu malam Junaid bermimpi dan dalam mimpi tersebut ia bertemu dengan Nabi saw.
“Berkhotbahlah!”, Nabi berkata kepadanya.
Keesokan paginya ia hendak pergi mengabarkan hal itu kepada Sari tetapi ternyata Sari sudah berdiri di depan pintu rumahnya.
“Sebelumnya
engkau selalu merasa enggan, dan menantikan agar orang-orang mendesakmu
untuk berkhotbah. Tetapi mulai saat ini engkau harus berkhotbah karena
kata-katamu dijadikan sebagai alat bagi keselamatan seluruh dunia.
Engkau tak mau berkhotbah ketika dimohonkan murid-muridmu, engkau tak
mau ketika diminta oleh para syeikh di kota Baghdad. Dan engkau tak mau
berkhotbah ketika kudesak. Tetapi kini Nabi sendirilah yang memberi
perintah kepadamu, oleh karena itu engkau harus mau berkhotbah”.
”Semoga
Allah mengampuni diriku”, jawab Junaid. “Tetapi bagaimanakah engkau
bisa mengetahui bahwa aku telah berjumpa dengan Nabi dalam mimpiku?”
“Aku
bertemu dengan Allah dalam mimpi”, jawab Sari, “dan Dia berkata
kepadaku: ’Telah Kuutus rasul·ku untuk menyuruh Junaid berkhotbah di
atas mimbar”’.
“Aku mau berkhotbah”, Junaid menyerah, “tetapi dengan satu syarat bahwa yang mendengarkan khotbah-khotbahku tidak
lebih dari empat puluh orang”.
Pada
suatu hari Junaid berkhotbah. Jumlah pendengar hanya empat puluh orang.
Delapan belas orang di antaranya menemui ajal mereka sedang sisanya
yang berjumlah dua puluh dua orang jatuh pingsan dan harus digotong ke
rumahnya masing-masing.
Di dalam kesempatan lain Junaid
berkhotbah di dalam masjid besar. Di antara jamaahnya ada seorang pemuda
Kristen tetapi tak seorang pun yang mengetahui bahwa ia beragama
Kristen. Si pemuda menghampiri Junaid dan berkata: “Nabi pernah berkata:
’Berhati-hatilah dengan wawasan seseorang yang beriman karena ia dapat
melihat dengan nur Allah’. Apakah maksudnya?”
“Yang
dimaksudkannya adalah”, Junaid menjawab, “bahwa engkau harus menjadi
seorang Muslim dan melepaskan sabuk kekristenanmu itu karena sekarang
ini adalah zaman Islam”.
Si pemuda segera memeluk Islam setelah mendengar jawaban Junaid tersebut.
ooo
Setelah
berkhotbah beberapa kali, orang-orang menentang Junaid. Junaid
menghentikan khotbahnya dan mengurung diri di dalam kamarnya. Betapapun
ia didesak untuk berkhotbah kembali, ia tetap menolak.
“Aku sudah cukup puas”, jawab Junaid, “Aku tidak mau merancang kehancuran diriku sendiri”..
Tetapi beberapa lama kemudian tanpa diduga-duga Junaid naik ke atas mimbar dan mulai berkhotbah.
“Apakah kebijaksanaan yang terkandung di dalam perbuatanmu ini?”,seseorang bertanya kepadanya.
Junaid
menjawab: “Aku teringat sebuah hadits di mana Nabi berkata: ’Di
hari-hari terakhir nanti yang menjadi juru bicara diantara ummat manusia
adalah yang paling bodoh di antara mereka. Dialah yang akan berkhotbah
kepada ummat manusia’. Aku menyadari bahwa aku adalah yang terbodoh di
antara ummat manusia dan aku berkhotbah karena kata Nabi itu, aku takkan
menentang kata-katanya itu”.
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI JUNAID
Pada suatu ketika mata Junaid sakit dan dipanggilnyalah seorang tabib.
“Jika matamu terasa perih, jangan biarkan air masuk ke dalam matamu”, si tabib menasehatkan.
Ketika
tabib itu telah pergi, Junaid bersuci, shalat dan setelah itu pergi
tidur. Ketika terbangun ternyata matanya telah sembuh dan terdengarlah
oleh sebuah seruan: “Junaid bersedia mengorbankan matanya demi nikmat
Kami. Seandainya untuk tujuan yang sama ia telah memohonkan ampunan Kami
untuk semua penghuni neraka, niscaya permohonannya itu akan Kami
kabulkan”.
Ketika si tabib datang dan menyaksikan bahwa mata Junaid telah sembuh,
“Apakah yang telah kau lakukan?”, ia bertanya.
“Aku bersuci untuk shalat”, jawab junaid.
Mendengar jawaban ini si tabib yang beragama Kristen itu segera masuk Islam.
“Inilah
kesembuhan dari Sang Pencipta, bukan dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya”,
katanya kepada Junaid, “Matakulah yang selama ini sakit, bukan matamu.
Engkaulah yang sebenarnya seorang tabib, bukan aku”.
ooo
Junaid
mengisahkan: Pada suatu ketika aku ingin melihat Iblis. Aku berdiri di
pintu masjid dan dari kejauhan terlihatlah olehku seorang tua yang
sedang berjalan ke arahku. Begitu aku memandangnya, rasa ngeri mencekam
perasaanku.
“Siapakah engkau ini?” aku bertanya kepadanya.
“Yang engkau inginkan”, jawabnya.
“Wahai makhluk yang terkutuk”, aku berseru, ”Apakah yang menyebabkan engkau tidak mau bersujud kepada Adam?”
“Bagaimanakah pendapatmu Junaid?”, Iblis menjawab, ’Jika aku bersujud kepada yang lain daripada-Nya?”
Junaid mengisahkan, betapa ia menjadi bingung karena jawaban Iblis itu.
Dari
dalam lubuk hatiku terdengarlah sebuah seruan, “Katakan, engkau adalah
pendusta. Seandainya engkau adalah seorang hamba yang setia niscaya
engkau mentaati perintah-Nya”.
Ketika Iblis mendengar
kata-kata ini, ia meraung nyaring. “Demi Allah Junaid, engkau telah
membinasakan aku!” Dan setelah itu ia pun hilang.
ooo
Pada
masa sekarang ini semakin sedikit dan sulit ditemukan saudara-saudara
seagama”, seseorang berkata di depan Junaid. Junaid membalas: “Jika
engkau menghendaki seseorang untuk memikul bebanmu, maka orang-orang
seperti itu memang sulit dan sedikit dijumpai. Tetapi jika engkau
menghendaki seseorang untuk ikut memikul bebannya, maka orang seperti
itu banyak sekali padaku”.
ooo
Bila
Junaid berkhotbah mengenai keesaan Allah, ia sering membahasnya dari
sudut-sudut pandangan yang berbeda sehingga tak seorang pun dapat
memahaminya. Pada suatu hari Syibli yang berada di antara
pendengar-pendengar mengucapkan: “Allah, Allah!”
Mendengar
ucapan itu Junaid berkata: “Apabila Allah itu tidak ada, maka
menyebutkan sesuatu yang tidak ada adalah suatu pertanda dari ketiadaan,
dan ketiadaan adalah sesuatu hal yang diharamkan. Apabila Allah itu
ada, maka menyebut nama-Nya sambil merenungi-Nya sebagai ada adalah
suatu pertanda tidak menghargai”.
ooo
Seseorang membawa uang lima ratus dinar dan memberikan uang itu kepada Junaid.
“Adakah yang masih engkau miliki selain daripada ini?”, Junaid bertanya kepadanya.
“Ya, banyak!”, jawab orang itu.
“Apakah engkau masih ingin mempunyai uang yang lebih banyak lagi?”
“Ya”.
”Kalau
begitu ambillah uang ini kembali, engkau lebih berhak untuk
memilikinya. Aku tidak memiliki sesuatu pun tapi aku tak menginginkan
sesuatu pun”.
ooo
Ketika Junaid sedang berkhotbah, salah seorang pendengarnya bangkit dan mulai mengemis.
“Orang
ini cukup sehat”, Junaid berkata di dalam hati. “Ia dapat mencari
nafkah. Tetapi mengapa ia mengemis dan menghinakan dirinya seperti ini?”
Malam itu Junaid bermimpi, di depannya tersaji makanan yang tertutup tudung.
”Makanlah!”, sebuah suara memerintah Junaid.
Ketika Junaid mengangkat tudung itu, terlihatlah olehnya si pengemis terkapar mati di atas piring.
“Aku tidak mau memakan daging manusia”, Junaid menolak.
”Tetapi bukankah itu yang engkau lakukan kemarin ketika berada di dalam masjid?”
Junaid segera menyadari bahwa ia bersalah karena telah berbuat fitnah di dalam hatinya dan oleh karena itu ia dihukum.
“Aku tersentak dalam keadaan takut”, Junaid mengisahkan.
“Aku segera bersuci dan melakukan shalat sunnat dua rakaat.
Setelah
itu aku pergi keluar mencari si pengemis. Kudapatkan ia sedang berada
di tepi sungai Tigris. Ia sedang memunguti sisa-sisa sayuran yang dicuci
di situ dan memakannya. Si pengemis mengangkat kepala dan terlihatlah
olehnya aku yang sedang menghampirinya. Maka bertanyalah ia kepadaku:
’Junaid, sudahkah engkau bertaubat karena telah bersangka buruk
terhadapku?’ Sudah’, jawabku. ’Jika demikian pergilah dari sini. Dia-lah
Yang Menerima taubat hamba-hamba-Nya. Dan jagalah pikiranmu’ “.
“Aku
telah mendapat pelajaran mengenai keyakinan yang tulus dari seorang
tukang cukur”, Junaid merenungi dan setelah itu ia pun berkisah sebagai
berikut;
Suatu ketika sewaktu aku berada di Mekkah, kulihat
seorang tukang cukur sedang menggunting rambut seseorang. Aku berkata
kepadanya: “Jika karena Allah, bersediakah engkau mencukur rambutku?”
“Aku
bersedia”, jawab si tukang cukur. Ia segera menghentikan pekerjaanya
dan berkata kepada langganannya itu: “Berdirilah, apabila nama Allah
diucapkan, hal-hal yang lain harus ditunda”.
Ia menyuruhku
duduk. Diciumnya kepalaku dan dicukurnya rambutku. Setelah selesai ia
memberikan kepadaku segumpal kertas yang berisi beberapa keping mata
uang.
“Gunakanlah uang ini untuk keperluanmu”, katanya kepadaku.
Aku
pun lalu bertekad bahwa hadiah yang pertama sekali kuperoleh sejak saat
itu akan kuserahkan kepada si tukang cukur tersebut.Tak lama kemudian
aku menerima sekantong uang emas dari Bashrah. Uang ini kuberikan kepada
tukang cukur itu.
“Apakah ini?” ia bertanya kepadaku.
“Aku
telah bertekad”, aku menjelaskan. “Hadiah yang pertama sekali kuperoleh
akan kuberikan kepadamu. Uang itu baru saja kuterima”.
Tetapi si cukang cukur menjawab:
“Tidakkah
engkau malu kepada Allah? Engkau telah mengatakan kepadaku: ’Demi Allah
cukurlah rambutku’, tetapi kemudian engkau memberi hadiah kepadaku.
Pernahkah engkau menjumpai seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan
demi Allah dan meminta bayaran?”.
ooo
Seorang pencuri telah dihukum gantung di kota Baghdad. Junaid datang dan mencium kakinya.
“Mengapa engkau berbuat demikian?”, orang-orang bertanya kepada junaid.
“Semoga
seribu belas kasih Allah dilimpahkan-Nya kepadanya”, jawab junaid. “Ia
telah membuktikan bahwa dirinya setia didalam usahanya. Sedemikian
sempurna ia melakukan pekerjaannya sehingga untuk itu direlakannya
hidupnya”.
ooo
Pada
suatu malam seorang pencuri menyusup masuk ke rumah dan masuk ke kamar
Junaid. Tak sesuatu pun yang ditemukannya kecuali sehelai pakaian.
Pakaian itu diambilnya, setelah itu ia pergi meninggalkan rumah Junaid.
Keesokan harinya ketika Junaid sedang berjalan-jalan di dalam pasar,
dilihatnya pakaiannya itu di tangan seorang pedagang perantara yang
sedang menawarkannya kepada seorang pembeli.
Calon pembeli itu berkata,
”Sebelum kubeli pakaian ini aku meminta seseorang yang sanggup memberi kesaksian bahwa pakaian itu memang kepunyaanmu”.
“Akulah yang akan memberi kesaksian bahwa pakaian itu adalah miliknya”. Junaid berkata sambil menghampiri mereka.
Maka pakaian itu pun terjuallah.
ooo
Seorang perempuan tua datang menghadap Junaid dan bermohon, “Puteraku pergi entah ke mana Doakanlah agar ia kembali”.
“Bersabarlah”, Junaid menasehati perempuan tua itu.
Dengan sabar perempuan tua itu menanti beberapa hari lamanya. Kemudian ia kembali kepada Junaid.
“Bersabarlah”, Junaid mengulangi nasehatnya.
Kejadian
seperti ini telah beberapa kali berulang, Akhirnya wanita tua itu
datang dan berkata lantang, “Aku sudah tak dapat bersabar lebih lama
lagi. Doakanlah kepada Allah!”
Junaid menjawab: “Jika engkau
berkata dengan sebenarnya, puteramu tentu telah kembali. Allah berkata:
Dia-lah yang akan menjawab orang yang berduka apabila orang itu menyeru
kepada-Nya”.
Setelah itu Junaid berdoa kepada Allah. Ketika perempuan itu sampai di rumahnya ternyata anaknya telah berada di sana.
ooo
Seorang murid mengira bahwa dirinya telah mencapai derajat kesempurnaan.
“Oleh karena itu lebih baik aku menyendiri”, ia berkata di dalam hatinya.
Maka
pergilah ia mengasingkan diri di suatu tempat dan untuk beberapa
lamanya berdiam di sana. Setiap malam beberapa orang yang membawa seekor
unta datang kepadanya dan berkata: “Kami akan mengantarmu ke surga”.
Maka naiklah ia ke atas punggung unta itu dan mereka pun berangkat ke
suatu tempat yang indah dan nyaman, penuh dengan manusia-manusia gagah
dan tampan, dimana banyak terdapat makanan-makanan lezat dan anak-anak
sungai. Di tempat itu ia tinggal hingga fajar, kemudian ia jatuh
tertidur dan ketika terjaga ternyata ia berada di kamarnya sendiri
kembali. Karena pengalaman ini, ia menjadi bangga dan angkuh.
“Setiap malam aku diantarkan ke surga”, ia membanggakan dirinya.
Kata-katanya
ini terdangar oleh Junaid. Junaid segara bangkit dan datang ke tempat
di mana ia mendapatkan muridnya itu sedang berlagak dengan sangat
angkuhnya. Junaid bertanya apakah yang telah dialaminya dan si murid
mengisahkan seluruh pengalamannya itu kepada syeikh..
“Malam
nanti apabila engkau diantarkan ke sana”, Junaid berkata kepada muridnya
itu, ”ucapkanlah: “Tiada kekuasaan dan kekuatan kecuali pada Allah Yang
Maha Mulia dan Maha Besar. “.
Malam itu,seperti biasanya si
murid diantarkan pula ka tempat ‘tersebut’. Dalam hatinya ia tidak yakin
terhadap perkataan Syeikh Junaid, tetapi ketika sampai di tempat itu,
sekadar sebagai percobaan ia mengucapkan: “Tiada kekuasaan dan kekuatan
…. “
Sesaat itu pula orang-orang yang berada di tempat itu meraung-raung dan melarikan diri.
Kemudian
terlihatlah olehnya bahwa tempat itu hanyalah tempat pembuangan sampah
sedang dihadapannya berserakan tulang-tulang binatang. Setelah menyadari
kekeliruannya itu, si murid bertaubat dan bergabung dengan murid-murid
Junaid yang lain. Tahulah ia bahwa menyendiri bagi seorang murid adalah
bagaikan racun yang mematikan.
ooo
Salah
seorang murid Junaid menyendiri di sebuah tempat yang terpencil di kota
Bashrah. Suatu malam, sebuah pikiran buruk terlintas di dalam hatinya.
Ketika ia memandang ke dalam cermin terlihatlah olehnya betapa wajahnya
telah berubah hitam. Ia sangat terperanjat. Segala daya upaya dilakukan
untuk membersihkan wajahnya tetapi sia-sia. Sedemikian malunya dia
sehingga tidak berani menunjukkan mukanya kepada siapa pun. Setelah tiga
hari berlalu, barulah kehitaman wajahnya kembali normal sedikit demi
sedikit.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya.
”Siapakah itu”, ia bertanya. ·
“Aku datang untuk mengantar surat dari Junaid”, sebuah sahutan dari luar.
Si murid membaca surat Junaid.
“Mengapa
tidak engkau jaga tingkah lakumu di hadapan Yang Maha Besar. Telah tiga
hari tiga malam aku bekerja sebagai seorang tukang celup untuk
memutihkan kembali wajahmu yang hitam itu”.
ooo
Suatu
hari, salah seorang murid Junaid melakukan satu kesalahan kecil. Karena
malu ia melarikan diri dan tidak mau pulang. Beberapa hari kemudian,
ketika berjalan-jalan dengan sahabat-sahabat di dalam pasar, tiba-tiba
terlihatlah oleh Junaid muridnya itu. Si murid lari karena malu.
“Seekor burung kita terlepas dari sangkar”, Junaid berseru kepada sahabat-sahabatnya dan mengejar si murid.
Ketika
menoleh ke belakang, si murid melihat bahwa syeikh membuntutinya. Maka
ia pun mempercepat larinya.’Akhirnya ia bertemu jalan buntu, karena malu
ia tetap menghadapkan mukanya ke tembok. Tak lama kemudian si syeikh
telah berada di tempat itu.
“Hendak kemanakah engkau guru?”, si murid bertanya kepada Junaid.
“Apabila seseorang membentur dinding, seorang syeikh dapat memberikan bantuannya”, jawab junaid
Murid
itu dibawanya pulang ke Tekkia. Sesampainya di sana si murid
menjatuhkan dirinya di depan kaki sang guru dan memohon ampun kepada
Allah. Semua yang menyaksikan pemandangan ini tergugah hatinya, banyak
di antara mereka yang ikut bertaubat.
ooo
Syeikh
Junaid mempunyai seorang murid yang dicintainya melebihi muridnya yang
lain. Murid-murid lain merasa iri, hal ini disadari oleh syeikh melalui
intuisi mistiknya.
“Sesungguhnya ia melebihi kalian di dalam tingkah laku dan tingkat pemahamannya”, Junaid menjelaskan kepada mereka.
“Begitulah menurut pandanganku. Tetapi marilah kita membuat sebuah percobaan agar kalian semua menyadari hal itu”.
Kemudian Junaid memerintahkan agar dua puluh ekor burung dibawakan ke padanya.
“Ambil
burung-burung ini oleh kalian, seekor seorang”, Junaid berkata kepada
murid-muridnya. “Bawalah burung itu ke suatu tempat yang tak terlihat
oleh siapa pun juga, kemudian bunuhlah. Setelah itu bawalah kembali ke
sini”.
Setiap murid pergi dengan membawa seekor burung,
membunuh burung itu dan membawa bangkainya kembali, kecuali murid
kesayangan Junaid itu. Ia pulang dengan membawa seekor burung yang masih
hidup.
“Mengapa tak kau bunuh burungmu itu?”, Junaid bertanya kepadanya.
“Karena guru mengatakan hal itu harus dilakukan di suatu tempat yang tidak dapat dilihat oleh siapa pun juga”, jawab si murid.
“Dan
ke mana pun aku pergi, Allah senantiasa menyaksikannya”. “Kalian
saksikanlah tingkat pemahamannya!”, Junaid berkata kepada seluruh
muridnya. “Bandingkanlah dengan yang lain-lainnya”.
Semua murid Junaid segera mohon ampunan Allah.
ooo
Junaid
mempunyai delapan orang murid istimewa yang melaksanakan setiap buah
pikirannya. Pada suatu hari, terpikirkan oleh mereka bahwa mereka harus
terjun ke perang suci. Keesokan paginya Junaid menyuruh pelayannya
mempersiapkan perlengkapan perang. Beserta kedelapan orang murid
tersebut ia lalu berangkat ke medan perang.
Ketika kedua belah
pihak yang bertempur saling berhadapan. tampillah seorang satria
perkasa dari pasukan kafir itu, lantas dibinasakannya kedelapan murid
Junaid.
“Aku menengadah ke atas langit”, Junaid mengisahkan,
“dan di sana terlihat olehku sembilan buah usungan. Roh masing-masing
dari kedelapan muridku yang syahid itu diangkat ke sebuah usungan jadi
masih ada satu usungan yang kosong. ’Usungan yang masih kosong itu
tentulah untukku’, aku berpikir dan karena itu akupun mencebur kembali
ke dalam kancah pertempuran. Tetapi satria perkasa yang telah membunuh
kedelapan sahabatku itu tampil dan berkata: ’Abul Qasim, usungan yang
kesembilan itu adalah untukku. Kembalilah ke Baghdad dan jadilah seorang
syeikh untuk kaum Muslimin. Dan bawalah aku ke dalam IsIam”.
“Maka
jadilah ia seorang Muslim. Dengan pedang yang telah digunakannya untuk
membunuh kedelapan muridku itu ia pun berbalik membunuh orang-orang
kafir dalam jumlah yang sama. Kemudian ia sendiri terbunuh sebagai
seorang syuhada. Rohnya”, Junaid mengakhiri kisahnya, “ditaruh ke atas
usungan yang masih kosong tadi. Kemudian kesembilan usungan itu
menghilang tidak terlihat Iagi”.
ooo
Seorang
sayyid bernama Nasiri, sedang melakukan perjalanan ke tanah suci untuk
menunaikan ibadah haji. Ketika sampai di Baghdad ia pun pergi
mengunjungi Junaid.
“Dari manakah engkau datang, sayyid?”, Junaid bertanya setelah menjawab salam.
“Aku datang dari Ghilan”, jawab sang sayyid.
“Keturunan siapakah engkau?”, tanya junaid.
“Aku adalah keturunan ’Ali, pangeran kaum Muslimin, semoga Allah memberkatinya”, jawabnya.
“Nenek
moyangmu itu bersenjatakan dua bilah pedang”, ujar Junaid. “Yang satu
untuk melawan orang-orang kafir dan yang lainnya untuk melawan dirinya
sendiri. Pada saat ini, sebagai puteranya, pedang manakah yang engkau
gunakan?”
Sang sayyid menangis sedih mendengarkan’ kata-kata ini. Direbahkannya dirinya di depan Junaid dan berkatalah ia:
“Guru, di sinilah ibadah hajiku Tunjukkanlah kepadaku jalan menuju Allah”.
“Dadamu adalah tempat bernaung Allah. Usahakanlah sedaya upayamu agar tidak ada yang cemar memasuki tempat bernaung-Nya itu”.
“Hanya itulah yang ingin kuketahui”, si sayyid berkata.
ooo
Syeikh Junaidi Al Baghdadi dengan Bahlul
Syeikh Junaidi Al Baghdadi pergi untuk jalan-jalan keluar Baghdad. Murid-murid mengikutinya.
Syeikh bertanya bagaimana kabar bahlul yang gila ?
Mereka menjawab, “Dia adalah orang gila, apa yang anda perlukan dari dia?”
“bawalah aku ke dia, karena aku ada perlu dengan nya.”
Para murid mencari Bahlul dan menemukannya di padang pasir. Mereke membawa Syeikh Junaidi Al Baghdadi kepadanya
Ketika
Syeikh Junaidi Al Baghdadi pergi mendekati Bahlul, Beliau melihat
Bahlul dalam keadaan gelisah dengan batu bata ada dibawah kepalanya
(posisi kepala dibawah ?)
Syeikh mengucapkan salam
Bahlul menjawab dan bertanya, “Siapakah Anda? ”
” Saya Junaidi Baghdadi.”
Bahlul bertanya, “Apakah Anda Abul Qasim?”
“Ya, betul !” jawab Syeikh
Bahlul bertanya lagi ” Apakah Anda Syeikh Baghdadi yang memberikan orang-orang Petunjuk spiritual? ”
“Ya!” kemudian Bahlul bertanya ” Tahukah Anda bagaimana cara makan?”
“Ya!”
Saya mengucapkan Bismillah (Dengan mengucap nama Allah SWT). Saya makan
yang paling dekat dengan saya, Saya mengambil gigitan kecil,
meletakkannya di sisi kanan dari mulut saya, dan mengunyah pelan-pelan.
Saya tidak nampak ke gigitan yan lain. Saya mengingat Allah SWT saat
makan. Untuk sebutir apapun yang saya makan, Saya mengucap Alhamdulillah
(Segala puji bagi Allah SWT). Saya mencuci tangan sebelum dan sesudah
makan.”
Bahlul berdiri, meggerakkan pakaiannya
pada Syeikh, dan berkata, ” Anda ingin menjadi pemimpin spiritual dunia
tapi Anda tidak pun mengetahui bagaimana cara makan.” setelah
mengucapkannya, dia langsung pergi.
Para Murid Syeikh berkata, “O Syeikh! Dia orang yang gila. ”
Syeikh menjawab, Dia adalah orang gila yang sangat pandai dalam berucap. dengarkan pernyataan yang benar dari nya.
Setelah mengucapkan Beliau pergi dibelakang Bahlul, dan berkata, ” Saya ada perlu dengan Bahlul.”
Ketika Bahlul mencapai bangunan yang berdebu, dia duduk. Syeikh mendekatinya.
Bahlul bertanya, “Siapakah Anda?”
” Syeikh Baghdadi yang pun tidak mengetahui bagaimana cara makan.”
” Anda tidak mengetahui bagaiamana makan, tapi apakah Anda tahu bagaimana berbicara?”
“Ya”
” Bagaimana anda berbicara ?”
”
Saya berbicara secara umum dan langsung pada pokok masalah. Saya tidak
berbicara terlalu tinggi atau terlalu banyak. Saya berbicara sehingga
para pendengar dapat mengerti. Saya memanggil semua orang di dunia untuk
kembali ke Allah dan Nabi (s). Saya tidak berbicara terlalu banyak
sehingga semua orang akan bosan. Saya memperhatikan kedalaman
pengetahuan spiritual dan yang umum.
kemudian dia menggambarkan apapun yang berhubungan dengan Adab dan etika
Bahlul berkata, “Lupakan soal makan, Anda pun tidak mengetahui bagaimana berbicara.”
Bahlul berdiri, menggerakkan pakaiannya pada Syeikh dan pergi
Para murid berkata, “O Syeikh! Anda lihatkan, dia orang yang gila. Apa yang Anda harapkan dari orang yang gila!”
Syeikh berkata, ” Saya ada perlu dengan dia. Kalian tidak tahu.”
Sekali lagi Beliau pergi setelah Bahlul sampai Beliau menjumpainya.
Bahlul
bertanya, “Apa yang Anda inginkan dari saya? Anda yang tidak mengetahui
Adab makan dan bicara, apakah Anda mengetahui bagaimana cara untuk
tidur?”
” Ya, saya tahu.”
” Bagaimana cara tidur?” Bahlul bertanya
” Ketika saya selesai sholat Isya’ dan membacakan permohonan, saya pakai baju tidur saya.”
Kemudian beliau menggambarkan adab-adab tidur yang sudah diterima oleh beliau dari Orang-orang yang telah belajar agama.
Bahlul kemudian berkata : ” Saya mengerti bahwa Anda pun tidak mengetahui juga bagaimana untuk tidur.”
Dia
ingin berdiri, tapi Junayd menangkap memegang pakaian nya dan berkata, O
Bahlul! Saya tidak mengethuinya; Demi kecintaan kepada Allah SWT ajari
saya.
Bahlul berkata ” Anda mengklaim
pengetahuan dan berkata bahwa anda tahu sehingga Saya mencegah Anda.
sekarang Anda mengakui ketiadaan pengetahuan Anda, Saya akan mengajari
Anda.”
“Tahu apapun yang Anda utarakan itu adalah tidak penting.”
”
Kebenaran dibalik memakan makanan yang Anda makan menurut hukum adalah
sepotong demi sepotong. Jika Anda makan makanan yang dilarang juga,
dengan seratus adab, hal itu tidak akan menguntungkan Anda, tapi bisa
menjadi alasan untuk menghitamkan hati.”
” Semoga Allah memberkati Anda pahala yang sangat besar.” ucap Syeikh.
Bahlul
melanjutkan, Hati haruslah bersih, dan memiliki niat yang baik sebelum
Anda mulai bicara. dan pembicaraan Anda haruslah menyenangkan Allah SWT.
Jika itu untuk segala urusan dunya atau pekerjaan yang sia-sia, maka
apapun yang Anda ekspresikan, akan menjadi bencana bagi Anda. Itulah
sebabnya diam dan tenang adalah yang terbaik.”
“Apapun
yang Anda ucapkan tentang tidur juga tidak penting. Kebenarannya adalah
bahwa hati Anda seharusnya bebas dari permusuhan, cemburu, dan
kebencian. Hati Anda seharusnya TIDAK rakus untuk dunya ini atau
kekayaanya, dan ingatlah Allah SWT ketika akan tidur.
Syeikh Junaidi kemudian mencium tangan Bahlul dan berdoa untuk nya.
Para
murid yang menyaksikan kejadian ini, dan yang telah berfikir bahwa
Bahlul gila, melupakan tindakannya dan memulai hidup baru
JUNAID MENINGGAL DUNIA
Ketika ajalnya sudah dekat, Junaid menyuruh sahabat-sahabatnya untuk membentangkan meja dan mempersiapkan makanan.
“Aku ingin menghembuskan nafasku yang terakhir ketika sahabat-sahabatku sedang menyantap seporsi sop”, Junaid berkata.
Kesakitan pertama menyerang dirinya.
“Berilah aku air untuk bersuci”, ia meminta kepada sahabat-sahabatnya.
Tanpa
disengaja mereka lupa membersihkan sela-sela jari tangannya. Atas
permintaan Junaid sendiri kekhilafan ini mereka perbaiki. Kemudian
Junaid bersujud sambil menangis.
“Wahai ketua kami”,
murid-muridnya menegurnya, “dengan semua pengabdian dan kepatuhanmu
kepada Allah seperti yang telah engkau lakukan, mengapakah engkau
bersujud pada saat-saat seperti ini?” .
“Tidak pernah aku merasa lebih perlu bersujud daripada saat-saat ini”, jawab Junaid.
Kemudian Junaid membaca ayat-ayat al-Qur‘an tanpa henti-hentinya.
“Dan engkau pun membaca al-Qur‘an?”, salah seorang muridnya bertanya.
“Siapakah
yang lebih berhak daripadaku membaca al-Qur‘an, karena aku tahu bahwa
sebentar lagi catatan kehidupanku akan digulung dan akan kulihat
pengabdian dan kepatuhanku selama tujuh puluh tahun tergantung di
angkara pada sehelai benang. Kemudian angin bertiup dan mengayunkan ke
sana ke mari, hingga aku tak tahu, apakah angin itu akan memisahkan atau
mempertemukanku dengan-Nya. Di sebelahku akan membentang tebing pemisah
surga dan neraka, dan di sebelah yang lain malaikat maut. Hakim yang
adil akan menantikanku di sana, teguh tak tergoyahkan di dalam keadilan
yang sempurna. Sebuah jalan telah terbentang di hadapanku dan aku tak
tahu ke mana aku hendak dibawa”.
Setelah tamat dengan al-Qur‘an yang dibacanya. diIanjutkannya pula tujuh puluh ayat dari surah al-Baqarah.
Kesakitan kedua menyerang Junaid.
“Sebutlah nama Allah”, sahabat-sahabatnya membisikkan.
“Aku
tidak lupa”, jawab Junaid. Tangannya meraih tasbih dan keempat jarinya
kaku mencengkeram tasbih itu, sehingga salah seorang muridnya harus
melepaskannya.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”, Junaid berseru, kemudian menutup matanya dan sampailah ajalnya.
Ketika
jenasahnya dimandikan, salah seorang yang ikut memandikannya bermaksud
membasuh matanya. Tetapi sebuah seruan dari langit mencegah: “Lepaskan
tanganmu dari mata sahabat-Ku. Matanya tertutup bersama nama-Ku dan
tidak akan dibukakan kembali kecuali ketika dia menghadap-Ku nanti”.
Kemudian ia hendak membuka jari-jari Junaid untuk dibasuhnya, Sekali
lagi terdengar suara mencegah: “Jari-jari yang telah kaku bersama
nama-Ku tidak akan dibukakan kecuali melalui perintah—Ku”.
Ketika
jenasah Junaid diusung, seekor burung berbulu putih hinggap di sudut
peti matinya. Percuma saja para sahabat mencoba mengusir burung itu,
karena ia tak mau pergi. Akhirnya burung itu berkata:
“Janganlah
kalian menyusahkan diri kalian sendiri. dan menyusahkan aku.
Cakar-cakarku telah tertancap di sudut peti mati ini oleh paku cinta.
Itulah sebabnya aku hinggap di sini. Janganlah kalian bersusah-payah.
Sejak saat ini Jasadnya dirawat oleh para malaikat. Jika bukan karena
kegaduhan yang kalian buat, niscaya jasad Junaid telah terbang ke
angkasa sebagai seeekor elang putih bersama-sama dengan kami”.[]
alhamdulilah sungguh menggugah hati
BalasHapus